Rabu, 16 Desember 2009

ANTARA JAMINAN DAN KEWAJIBAN (SYARAH HIKAM BAB 5)


ANTARA JAMINAN DAN KEWAJIBAN

اِجْتِهَادُكَ فِيْمَا ضُمِنَ لَكَ وَتَقْصِيْرِكَ فِيْمَا طُلِبَ مِنْكَ دَلِيْلٌ عَلَى اِنْطِمَاسِ البَصِيْرَةِ مِنْكَ

“Kesungguhan dalam mengusahakan sesuatu yang sudah terjamin bagimu dan keteledoran dalam menjaga apa yang diwajibkan bagimu, menunjukkan tanda-tanda bahwa matahatimu dalam keadaan tertutup”.

hikam
Seluruh makhluk baik di langit maupun di bumi diciptakan Allah Ta’ala untuk kepentingan manusia. Maksudnya, hikmah penciptaan mereka itu hanya untuk hidup manusia, bukan sebaliknya: “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.” (QS. al-Jatsiyah; 13)
Merupakan rahmat Allah Ta’ala yang terbesar bagi manusia, malaikat dan jin  diciptakan untuk manusia, bukan sebaliknya. Bukan Nabi Muhammad s.a.w diciptakan untuk melayani malaikat Jibril, tapi malaikat Jibril tercipta untuk melayani Nabi Muhammad s.a.w. Terlebih lagi makhluk yang ada di bumi, mereka semua tercipta hanya untuk kebutuhan hidup manusia. Di udara dengan aneka macam burung-burung dan di bumi dengan tumbuhan dan hewan, demikian juga di laut dengan ikan-ikannya. Semua itu ditebarkan dengan melimpah ruah hanya untuk kebutuhan hidup manusia.
Adapun manusia hanya diciptakan untuk Allah s.w.t, hanya untuk mengabdi kepada-Nya, tidak boleh mengabdi kepada selain-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz Dzariyat; 56) Artinya, dengan seluruh potensi alam tersebut, manusia harus dapat mempergunakannya untuk mengabdi kepada-Nya. Apabila ada pengabdian kepada selain-Nya, seperti kepada guru-guru, orang tua, istri dan anak serta kepada sesama manusia, pengabdian itu dijadikan wasilah guna melaksanakan pengabdian hakiki kepada Allah s.w.t
Secara umum rizki yang disediakan Allah bagi manusia tersebut ada tiga sifat:
1.    Rizki yang dijamin. Rizki yang dijamin ini bukan hanya untuk manusia saja, bahkan untuk seluruh makhluk yang ada. Yaitu rizki-rizki yang sudah tersedia dan ditebarkan Allah Ta’ala di muka bumi, meski cara mendapatkannya harus dengan jalan usaha (ikhtiar). Allah menegaskan dengan firman-Nya:

وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُوم

“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu”. (QS. Al Hijr/15; 21)
Betapapun kerasnya seseorang berusaha, seandainya rizki-rizki itu tidak tersedia sebelumnya, bisakah mereka mendapatkannya? Seperti orang menanam benih, seandainya tanah yang ditanam tidak tercipta dapat menumbuhkan tanaman, dapatkah mereka manuai hasilnya? Demikianlah sunnah yang sudah ditetapkan (sunnatullah). Dengan sunnah-Nya pula setiap makhluk mendapatkan rizki yang sudah ditetapkan baginya.
2.    Rizki yang ditambahkan. Rizki ini bisa didapatkan ketika seorang hamba mampu bersyukur kepada Allah. Hal itu dinyatakan dalam firman-Nya; “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. 14; 7) Kalau manusia belum bisa bersyukur, padahal dia mendapatkan rizki yang melimpah, berarti didatangkan dari jenis “rizki yang dijamin”, bukan yang ditambahkan. Hanya saja ia mendapatkan bagian yang lebih besar daripada orang lain.
3.    Rizki yang dijanjikan. Yaitu rizki yang didatangkan dari rahasia (buah) ibadah yang dijalani. Sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُون

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS.an Nahl/ 16; 97)
Adapun kebutuhan hidup manusia juga terdapat tiga macam. Pertama untuk kecukupan hidup (primer). Kedua untuk kesempurnaan hidup (sekunder) dan ketiga untuk kesenangan hidup (tersier). Kebutuhan untuk kecukupan hidup, boleh jadi semua orang hidup sudah mendapatkan. Buktinya, bagaimanapun susahnya hidup seseorang, rata-rata mereka masih bisa makan minimal dua kali sehari. Sedangkan kebutuhan untuk hidup sempurna, oleh karena tingkat kesempurnaan hidup ada batasnya, maka yang demikian itu bisa direncanakan dan dibatasi. Berbeda bila yang dibutuhkan hidup adalah memperturutkan kesenangan, terlebih hanya berdasarkan kemauan hawa nafsu, kebutuhan inilah yang tidak terbatas, karena batasan senang hanyalah kematian.
Jika ketiga rizki tersebut dikaitkan dengan ketiga jenis kebutuhan hidup, maka cara mengusahakannya menjadi variatif. Jalan ikhtiar itu mengikuti jenis kebutuhan hidup tersebut. Saat itulah “iman dan tawakkal” seorang hamba diuji. Apabila dalam mengusahakan “rizki yang sudah dijamin” menjadikan sebab keteledorannya terhadap sesuatu yang diwajibkan, yakni beribadah dan mengabdi kepada Dzat yang memberikan rizki tersebut, berarti menunjukkan tanda-tanda matahatinya sedang tertutup.

Sarana Ibadah

Seringkali orang mengatakan, bahwa rizki-rizki yang dimiliki sekedar untuk mencukupi kebutuhan ibadah. Kalau dalam mencari rizki itu memang benar-benar mencari sarana ibadah, maka usaha itu juga termasuk ibadah. Namun, seperti orang mengerjakan shalat, setiap ibadah pasti ada syarat dan rukunnya serta syah dan batalnya ibadah, maka dalam mengusahakan rizki itu manusia harus memilih jalan yang dibenarkan dan dihalalkan oleh Agama.
Dalam kaitan tersebut, keadaan hati manusia dapat terbaca dari bagaimana cara mereka mensikapi harta benda yang sudah dimiliki. Kalau harta-harta itu ternyata memudahkan untuk melaksanakan ibadah dan ringan dibelanjakan di jalan Allah, berarti—usahanya dalam mendapatkan rizki tersebut— benar-benar ibadah. Apabila tidak, bahkan usahanya dalam mencari rizki-rizki tersebut ternyata justru mengalahkan kewajibannya dalam melaksanakan ibadah, maka boleh jadi yang terjadi adalah sebaliknya, justru ibadah yang dilakukan itulah, sesungguhnya hanya dipergunakan sebagai sarana untuk mendapatkan rizki dunia. Jika demikian, berarti matahati manusia itu dalam keadaan buta.
Oleh karena sebagian manusia hanya melihat dengan mata lahir saja sedangkan mata batinnya buta, maka yang tampak hanya kebutuhan hidup yang lahir bukan yang batin, kebutuhan nafsu syahwat bukan kebutuhan hati dan ruhani. Akibatnya, meski mereka telah melaksanakan amaliyah yang berkaitan dengan urusan yang batin, seperti berdzikir misalnya, namun tujuan akhirnya hanya untuk memenuhi kebutuhan yang lahir. Bahkan majlis dzikir itu hanya dijadikan sarana untuk kepentingan politik. Fenomena berbicara, belakangan ini banyak majlis dzikir didirikan tetapi tujuannya untuk kepentingan duniawi. Mereka mengumpulkan orang banyak dalam wadah ‘majlis dzikir’, tetapi tujuannya bukan untuk berdzikir kepada Allah melainkan supaya orang-orang yang dikumpulkan itu memilih dirinya menjadi pejabat atau wakil pejabat. Hal tersebut menunjukkan bahwa  sebagian manusia terbukti banyak yang matahatinya buta. (malfiali, 1 Nofember 2008)

1 komentar:

  1. Salam.

    Benar. Segala isi alam ruh, alam makhluk dan alam benda semuanya diciptaNYA untuk manusia. Cuma di kalangan manusia ada segolongan besar yang tidak tahu bersyukur.

    Benar. Manusia dicipta hanya untuk menghambakan diri kepadaNYA.

    BalasHapus