Senin, 31 Mei 2010

Hikmah Aqiqoh dalam Prespektif Penyembuhan Penyakit



Sejak seorang suami memancarkan sperma kepada istrinya, lalu sperma itu berlomba-lomba mendatangi panggilan indung telur melalui signyal kimiawi yang dipancarkan darinya, sejak itu tanpa banyak disadari oleh manusia, sesungguhnya setan jin sudah mengadakan penyerangan kepada calon anak mereka. Hal tersebut dilakukan oleh jin dalam rangka membangun pondasi di dalam janin yang masih sangat lemah itu, supaya kelak di saat anak manusia itu dewasa dan kuat, setan jin tetap dapat menguasai target sasarannya itu. Maka sejak itu pula Rasulullah saw. telah mengajarkan kepada umatnya cara menangkal serangan yang sangat membahayakan itu sebagaimana yang disampaikan Beliau saw. melalui sabdanya berikut ini :

حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا *
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a berkata: Rasulullah s.a.w pernah bersabda: apabila seseorang diantara kamu ingin bersetubuh dengan isterinya hendaklah dia membaca:

بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
Yang artinya: Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Wahai Tuhanku! Jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami. Sekiranya hubungan aantara suami istri itu ditakdirkan mendapat seorang anak. Anak itu tidak akan diganggu oleh setan untuk selamanya

· Riwayat Bukhari di dalam Kitab Nikah hadits nomor 4767.
· Riwayat Muslim di dalam Kitab Nikah hadits nomor 2591.
· Riwayat Tirmidzi di dalam Kitab Nikah hadist nomor 1012.
· Riwayat Abu Dawud di dalam Kitab Nikah hadits nomor 1846.(CD al-Bayan)

Disaat manusia sedang menjalani bagian kehidupan yang paling nikmat, mereka tidak boleh lupa diri. Mereka tidak boleh lupa kepada Allah Ta’ala. Kebahagiaan hidup itu harus dimulai dengan berdzikir menyebut asma-Nya dan membaca do’a. Hal itu harus dilakukan, supaya kebutuhan biologis manusiawi tersebut dinilai sebagai amal ibadah. Ketika perbuatan yang sering menjadikan manusia lupa diri itu menjadi amal ibadah, disamping mereka mendapatkan pahala besar, juga apa saja yang ditimbulkan darinya akan menjadi buah ibadah. Oleh karena ibadah berarti menolong di jalan Allah, maka Allah Ta’ala akan selalu memberikan pertolongan kepada hamba-Nya yang beriman itu. Allah Ta’ala menyatakan hal tersebut dengan firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ – محمد:47/7
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. QS:47/7.

Dengan sebab pertolongan Ilahiyah tersebut, sejak saat itu juga calon anak manusia itu akan mendapatkan perlindungan dari-Nya. Janin yang masih sangat lemah itu dimasukkan dalam benteng perlindungan-Nya yang kokoh sehingga setan jin tidak mampu lagi mengganggu untuk selama-lamanya. Allah Ta’ala telah menyatakan pula dengan firman-Nya:

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ – الحجر:15/42
Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat. QS:15/42.

Adakah kasih sayang yang melebihi kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, dan Rasulullah saw. kepada umatnya? Betapa seandainya tidak ada kasih sayang itu. Seandainya kita tidak diajarkan oleh Rasulullah saw. usaha tandingan untuk menangkal bahaya besar yang tidak banyak disadarai oleh manusia itu, adakah kira-kira manusia dapat selamat dari ancaman setan jin yang sangat mengerikan itu? Sementara sepasang anak manusia sedang asyik-asyiknya dalam keadaan lupa diri, ternyata setan jin telah menyiapkan jurus-jurus ampuh. Jika seandainya tidak ada penangkal tersebut barangkali dapat dipastikan, tidak ada seorang manusiapun mampu menyelamatkan diri dari serangan jin yang mematikan itu.

Buah ibadah yang dilakukan oleh seorang laki-laki sebelum mendatangi istrinya itu disebut “Nismatul ‘ubudiyah” sedangkan kehidupan yang mendiami janin di dalam rahim seorang ibu itu disebut “Nismatul adamiyah”. Selama keberadaan nismatul adamiyah didampingi nismatul ‘ubudiyah, sampai kapanpun anak manusia tetap mendapatkan perlindungan Allah Ta’ala. Dengan perlindungan itu setan jin tidak mempunyai kekuatan untuk menguasainya, kecuali manusia sendiri terlebih dahulu merusak sistem perlindungan tersebut dengan berbuat kemaksiatan dan dosa. Akibat dosa-dosa yang dilakukan itu dengan sendirinya nismatul ‘ubudiyah akan meninggalkan nismatul adamiyah, sehingga terbuka peluang bagi setan jin untuk menguasai manusia.

Ketika persetubuhan itu tidak dilandasi dengan nuansa ibadah, tidak diniati dengan niat yang baik, hanya memperturutkan dorongan hawa nafsu belaka, lebih-lebih dilaksanakan dalam kondisi masih haram, sehingga sejak proses awal kejadian anak manusia itu tidak mendapatkan nismatul ‘ubudiyah, tidak mendapatkan sistem penjagaan malaikat untuk melindungi jalan hidupnya, maka sejak masih berbentuk janin itu, anak manusia tersebut sudah terkontaminasi anasir-anasir jin. Akibatnya, sejak itu pula menjadi sangat rentan mendapatkan gangguan setan jin, baik jasmani maupun ruhaninya. Jasmaninya dalam arti sangat rentan mendapatkan berbagai macam penyakit yang penyebabnya datang dari dimensi alam jin dan ruhaninya dalam arti baik kesadaran maupun karakternya rentan mendapatkan gangguan jin. Dengan demikian itu berarti, bagian kehidupan anak manusia itu telah tergadaikan di dalam kekuasaan setan jin sehingga kapan saja jin dapat melaksanakan niat jahatnya. Allah Ta’ala telah menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya:

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ – المدثر:74/38
Tiap-tiap jiwa dengan apa yang telah diperbuatnya akan tergadai. QS:74/83.

Akibat dari kesalahan tersebut, jiwa anak manusia bagaikan sudah digadaikan oleh orang tuanya kepada setan jin, maka dia membutuhkan tebusan untuk membebaskannya. Oleh karena itu, berkat rahmat-Nya yang Agung, Allah Ta’ala masih memberikan kesempatan kepada setiap orang tua untuk menebus jiwa anaknya tersebut dengan melaksanakan sunnah Rasulullah saw yang disebut Aqiqoh.

Sebagaimana pelaksanaan ibadah qurban – laki-laki dengan dua ekor kambing dan perempuan dengan satu ekor kambing – Aqiqoh juga demikian. Rasulullah saw. sebagai seorang Rasul yang “Ma’shum” atau yang sudah mendapat jaminan keselamatan dan penjagaan dari akibat kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa, beliau melaksanakan Aqiqoh untuk putra-putrinya hanya selang tujuh hari setelah hari kelahirannya. Hal itu berarti mengandung pelajaran bagi umatnya tentang demikian besarnya hikmah Aqiqoh.

Jika diambil arti secara filosofi, tujuan aqiqoh juga seperti tujuan ibadah qurban, yakni melaksanakan tebusan atau yang disebut dengan istilah Fida’. Artinya; yang semestinya Nabi Ismail as. mati kerena saat itu Nabi Ibrahim as. mendapatkan perintah untuk menyembelihnya, namun kematian itu ditebusi oleh Allah Ta’ala dengan kematian seekor binatang qurban. Sehingga sejak itu, setiap hari Raya Qurban kaum muslimin disunnahkan untuk melaksanakan qurban dengan menyembelih binatang qurban. Seperti itu pula tujuan aqiqoh yang dilakukan oleh kedua orang tua terhadap anaknya. Yakni melaksanakan penebusan barangkali di saat kedua orang tua tersebut melaksanakan kuwajiban nafkah badan ada kehilafan. Maksudnya, bagian kehidupan anak yang sudah terlanjur tergadaikan kepada setan jin akibat kesalahan yang diperbuat, orang tua itu dianjurkan melaksanakan tebusan dengan melaksanakan aqiqoh bagi anak-anaknya.

Oleh karena itu hendaknya umat Islam melaksanakan aqiqoh untuk anak-anaknya dengan sungguh-sungguh, dilaksanakan dengan ikhlas semata-mata karena Allah Ta’ala. Aqiqoh boleh dilaksanakan bersamaan pelaksanaan hajad-hajad yang lain, hal itu karena daging aqiqoh dianjurkan dibagikan dalam keadaan matang. Boleh untuk walimatul ‘ursy, atau walimatul khitan umpamanya, asal dalam pelaksanaan itu tidak dibarengi dengan niat-niat yang tidak terpuji. Aqiqoh tidak boleh dibarengi dengan niat-niat yang dapat membatalkan pahala ibadah, misalnya untuk berbuat bangga-banggaan atau untuk perbuatan riya’ dan pamer, atau perbuatan yang sifatnya mubadzdzir menurut hukum agama islam, seperti pesta-pesta perkawinan yang sifatnya hanya untuk menunjukkan status dan kehormatan duniawi, hanya untuk pamer kesombongan dan bangga-banggaan. Hal itu dilakukan agar aqiqoh yang dilaksanakan itu benar-benar mencapai target sasaran. Menjadikan kafarot atau peleburan bagi dosa-dosa dan kesalahan yang telah terlanjur dilakukan oleh kedua orang tua.

Jadi, salah satu hikmah aqiqoh adalah, disamping diniatkan untuk melaksanakan sunnah Rasul saw, juga dapat dijadikan media atau sarana bagi usaha penyembuhan orang yang telah terlanjur jiwanya tergadaikan kepada setan jin sehingga badannya dihinggapi berbagai penyakit. Aqiqoh yang dilaksanakan itu bukan dalam arti kambing yang disembelih itu untk dipersembahkan kepada jin yang sedang memperdaya orang yang sakit sehingga hukumnya menjadi syirik, sebagaimana yang disangkah oleh sebagian kalangan yang tidak memahami ilmunya. Namun dilaksanakan semata-mata melaksanakan syari’at agama. Dengan asumsi, bahwa ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba bukan untuk kepentingan Allah Ta’ala, tetapi pasti ada kemanfaatan bagi orang yang malakukan. Hal itu bisa terjadi, karena secara sunatullah, Allah Ta’ala sudah menetapkan bahwa setiap amal kebajikan pasti dapat menghilangkan kejelekan, asal kebajikan tersebut dilaksanakan semata-mata melaksanakan perintah-Nya. Allah Ta’ala telah menegaskan dengan firman-Nya:

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ – هود:11/114
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”. QS:11/114.

Selasa, 18 Mei 2010

MEMBANGUN BENTENG PERLINDUNGAN DARI GANGGUAN SETAN JIN

Barangsiapa berharap kepada Allah agar Allah Ta'ala
membangunkan BENTENG PERLINDUNGAN untuk diri sendiri
dan keluarga serta teman dan jama'ahnya dari gangguan
setan jin baik secara jasmani maupun ruhani, hal tersebut karena
mendapat barokah SIRR dari guru-guru yang kita tawasuli setiap saat,
dengan mendawamkan do'a ini, insya Allah, Allah Ta'ala akan mengijabahi

Teman-teman yang berkenan boleh mengamalkannya,

ini sebagai ijazah dan bonus, bisa dibaca setiap habis sholat fardhu,
terutama setelah sholat tahajjud, semoga Allah mengabulkan do'a
dan harapan kita semua, ... aamiin

al-Fakir, Muhammad Luthfi Ghozali

Pendidikan Anak Secara Islami


Akal sebagai tempat perbendaharaan Ilmu, akan mendapat masukan ilmu pengetahuan dari tiga sumber: pertama dari pendengaran, kedua dari penglihatan dan ketiga terbit di dalam hati. Manusia bisa memasukkan ilmu bagi akalnya dengan membaca, mendengarkan dan melaksanakan ibadah atau mujahadah di jalan Alloh sebagai pelaksanaan takwallah. Jalan yang ketiga inilah yang menjadi fokus pembicaraan dalam paparan ini. 
Allah Ta’ala telah menegaskannya dengan firman-Nya:

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. QS:2/282.

*********

Allah SWT berfirman:

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. QS:16/78.

Manusia dilahirkan ibunya dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, hal itu disebabkan karena alat-alat mekanik yang nantinya berfungsi sebagai indera belum berfungsi, sehingga belum ada signal yang dikirimkan oleh indera-indera tersebut ke dalam bilik akal. Adapun indera yang pertama berfungsi adalah pendengaran kemudian baru penglihatan. Seandainya kedua alat mekanik tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, maka selamanya manusia akan tidak mengetahui apa-apa.

Dari dua sumber tersebut ilmu pengetahuan kemudian masuk ke dalam memori akal, itulah yang disebut ilmu lahir atau ilmu rasional atau juga disebut ilmu hushuli. Sedangkan ilmu yang masuknya ke dalam bilik akal melalui hati atau perasaan disebut dengan ilmu batin atau ilmu spiritual atau juga disebut ilmu khuduri, atau dengan istilah ilmu laduni.

Ketika anak manusia masih berupa janin dalam kandungan seorang ibu, keadaan batin seorang ibu tersebut sangat berpengaruh bagi pertumbuhan jiwa maupun raga anak yang ada di dalam kandungan, maka seorang ibu yang sedang mengandung hendaknya menjaga kestabilan batinnya, meningkatkan kemampuan spiritual dengan amal ibadah yang ikhlas, baik secara vertikal maupun horizontal, supaya emosional dan rasional dapat terkontrol dan terkondisi dengan baik, sehingga dapat memberikan pengaruh positif kepada perkembangan janin yang sedang dikandung tersebut.

Adapun yang dimaksud melaksanakan pendidikan anak secara islami harus dimulai sebelum itu. Sebelum janin terbentuk dalam rahin seorang Ibu. Oleh karena jin selalu bekerjasama(bersekutu) dengan manusia di dalam urusan harta benda dan anak-anak, Allah Ta’ala mengabarkan hal tersebut dengan firman-Nya:

وَشَارِكْهُمْ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَولَادِ
“Dan berserikatlah dengan mereka pada (urusan) harta dan (urusan) anak-anak.

Maka mempersiapkan anak yang pandai dan cerdas serta sehat wal afiat – baik ruhani maupun jasmani – secara islami, tidaklah hanya dilakukan pada saat anak manusia itu sudah berada di dalam kandungan ibunya saja, karena saat itu boleh jadi janin tersebut sudah terkontaminasi anasir jin, akan tetapi harus disiapkan sejak pertama kali seorang suami akan berhubungan dengan istrinya. Yakni dengan berdzikir kepada Allah Ta’ala, membaca basmallah dan do’a-do'a sebagaimana yang diajarkan Rasulullah saw. Dalam arti, hubungan suami istri tersebut tidak dilakukan hanya sekedar sebagai pelampias nafsu syahwat belaka.

Sesungguhnya saat itu adalah saat-saat yang sangat menentukan bagi kemurnian fithrah calon anak manusia tersebut. Supaya apabila dari hubungan itu terjadi pembuahan, maka sejak itu calon anak manusia itu mendapat perlindungan Allah Ta’ala dari segala upaya setan jin, supaya hasil hubungan itu benar-benar bersih sesuai dengan fithrah yang telah dikehendaki Allah Ta’ala baginya, bukan sebagai fithrah yang sudah terkontaminasi oleh anasir jin.

Baru setelah itu, seorang ibu yang mengandung hendaknya selalu mengkondisikan lahir dan batinnya untuk mempersiapkan akhlak anak yang dikandung itu menjadi akhlak yang mulia dengan pelaksanaan akhlak yang mulia pula. Tidak hanya sekedar ilmu dan amal saja, dan hendaknya bapak dan ibunya jangan terjebak melaksanakan wirid-wirid khusus yang terkadang justru bisa mewariskan karakter – bagi anaknya – yang tidak diinginkan sebagai dampak pelaksanaan amalan tersebut. Jika hendak mengamalkan wirid-wirid, hendaknya mendapat bimbingan dari guru ahlinya. 

Anak adalah amanat yang terbesar dari-Nya, maka jangan sampai hidupnya kelak menjadi sia-sia. Hanya Allah Ta’ala yang mampu mentarbiyah hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala telah menegaskan dari sabda Rasulullah saw prihal rahasia pendidikan anak secara batin ini dengan firman-Nya:

إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ
“Sesungguhnya Pentarbiyahku adalah Allah yang telah menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) dan Dia yang akan mentarbiyah orang-orang yang saleh”. QS:7/196.

Jika fithrah janin itu terlanjur terkontaminasi anasir jin, maka sejak saat itu berarti yang akan ikut andil menjadi guru calon anak tersebut adalah jin yang sudah menguasainya, hal itu dilakukan oleh jin dengan cara mengirimkan perintah berupa signal-signal yang dipancarkan setiap saat kepada janin itu. Akibatnya, apa saja yang diupayakan oleh seorang ibu yang sedang mengandung tersebut tidak dapat membuahkan hasil optimal karena sejak itu setan jin sudah ikut andil dalam pembentukan kepribadian serta karakter dari calon anak yang ada di dalam kandungan tersebut. Selanjutnya, setelah anak itu dilahirkan oleh ibunya ia akan terlahir menjadi anak yang mempunyai kelainan-kelainan pembawaan yang negatif, yang kadang-kadang sulit dapat dipulihkan kembali.

Anak manusia yang terlahir dengan fithrah yang sudah tidak murni ini, ketika sudah mulai menginjak usia balita, biasanya muncul tanda-tanda yang dapat dibaca dari prilaku keseharianya. Adapun tanda-tanda yang umum adalah seperti apa yang diduga oleh banyak orang dengan istilah hipper aktif. Anak tersebut terkadang memang mempunyai kepandaian agak menonjol dibanding dengan teman sebayanya, akan tetapi dia sulit diatur oleh orang lain. Dia suka bertindak semaunya sendiri sehingga banyak merepotkan orang yang ada di sekitarnya.

Memang keberadaan anak tersebut tidak sebagaimana mestinya pada usia anak sebayanya, kadang-kadang mempunyai inisiatif dan kreatif yang berlebihan dan bahkan mampu berbuat jauh melebihi usia anak yang lebih tua darinya. Maka yang dikatakan hipper aktif itu terkadang memang karena fithrah anak tersebut terkontaminasi anasir jin sejak dalam kandungan ibunya, berarti sejak itu anak tersebut sesungguhnya dalam keadaan sakit akibat gangguan jin. Kalau sudah demikian keadaannya, sebagai bagian dari pelaksanaan pendidikan secara islami adalah pelaksanaan aqiqoh oleh kedua orang tuanya. Oleh karena anak tersebut terlahir dalam kondisi sakit, maka aqiqoh untuk tujuan pengobatan ini harus dilakukan oleh orang yang mempunyai keahlian khusus dalam bidang tersebut.

Walhasil, pendidikan anak secara Islami tersebut bukan hanya dilakukan oleh seorang ibunya saat mengandung anaknya saja, tatapi jauh sebelum itu. Yaitu saat suami istri sedang melaksanakan tugas khsusnya. Tugas bersama itu harus dimulai dengan membaca do’a-do’a sebagaimana yang diajarkan oleh Baginda Nabi s.a.w. Do’a tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w dalam sabdanya berikut ini:

حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا *
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a berkata: Rasulullah s.a.w pernah bersabda: apabila seseorang diantara kamu ingin bersetubuh dengan isterinya hendaklah dia membaca:

بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
Artinya: Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Wahai Tuhanku! jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami.

Sekiranya hubungan antara suami istri itu ditakdirkan mendapat seorang anak, maka anak tersebut tidak akan diganggu oleh setan untuk selamanya.

• Riwayat Bukhari di dalam Kitab Nikah hadits nomor 4767.
• Riwayat Muslim di dalam Kitab Nikah hadits nomor 2591.
• Riwayat Tirmidzi di dalam Kitab Nikah hadist nomor 1012.
• Riwayat Abu Dawud di dalam Kitab Nikah hadits nomor 1846.(CD al-Bayan)

Pengalaman dalam menangani dan melaksanakan usaha penyembuhan bagi orang sakit akibat gangguan jin, baik penyakit jin yang menyerang kesadaran seperti orang kesurupan jin, maupun yang menyerang jasad sebagaimana yang diduga oleh para orang pintar atau paranormal dan dukun sebagai akibat terkena santet atau sihir, semuanya itu hampir dapat dipastikan penyebab awalnya karena orang tersebut belum di-aqiqohi. Setelah aqiqoh dilaksanakan, dengan izin Alloh pekerjaan penyembuhan mendapat kemudahan sehingga orang tersebut mendapat kesembuhan dari-Nya. Itulah hikmah syari’at, terkadang orang yang melakukannya tidak memahami rahasia yang tersimpan di dalamnya. Ternyata tujuannya hanya untuk kepentingan orang yang melaksanakan.


http://www.facebook.com/note.php?note_id=125636350358

Berbeda Tapi Sama

Kesulitan dan kemudahan hidup pasti akan didatangkan walau tidak diminta. Hal itu karena keduanya adalah bagian rotasi kehidupan yang tidak dapat dipisahkan. Seorang arifin menyikapi keduanya dengan arif bahkan memakmurkannya untuk keperluan ibadah. Ketika masa sulit datang, masa sulit itu dimakmurkan untuk menerbitkan kesabaran dalam hati dan ketika masa mudah datang, masa mudah itu dimakmurkan untuk menerbitkan rasa syukur. Jadilah keduanya mampu dijadikan sarana atau kendaraan yang ditumpangi untuk menghantarkan kepada tujuan hidup.

Namun demikian, ketika masa longgar sedang datang, rasa syukur akan kenikmatan cenderung menghalangi terbitnya rasa fakir di dalam hati orang yang afirin. Yang demikian itu merupakan kerugian yang nyata bagi mereka. Berarti saat itu mereka jauh dari tuhannya. Tidak ada lagi pendorong untuk meningkatkan ibadah sehingga pendakian malam yang harus didawamkan terasa amat berat untuk dilakukan.

Munajat-munajat mereka menjadi mandul. Matahati tertutup rasa jemu bagaikan matahari tertutup awan mendung. Akibatnya kesibukan mereka dalam menjaga kondisi hati supaya tetap selalu ingat kepada tuhannya, lebih berat daripada kesibukan mereka dalam menjaga kebutuhan lahir. Yang demikian itu berarti menjadikan beban berat yang harus mereka tanggung.

Namun ketika masa sulit sedang datang. Disamping karena bagian nafsu syahwat tidak ikut mengambil keuntungan di dalam masa sulit itu, juga rasa fakir kepada tuhannya cenderung mendorong mengadakan safari malam. Hal itu menyebabkan kesibukan hidupnya menjadi lebih longgar. Mereka tidak membutuhkan mujahadah khusus untuk menjaga hatinya supaya tetap ingat kepada tuhannya. Hal itu disebabkan, karena kesulitan-kesulitan hidup yang sedang dialami itu justru membangkitkan semangatnya untuk lebih meningkatkan pendekatan kepada Ma’budnya.

Dari Buku "Percikan Samudera Hikam Jilid 2" karya Muhammad Luthfi Ghozali

Peran Nafsu dan Hati dalam Kebajikan



Setiap kebajikan pasti ada tantangan, baik di luar maupun di dalam, karena nafsu dan hati saling berebut mengambil peran. Maka tantangan yang di dalam seyogyanya lebih mendapat perhatian, agar sang musafir selamat dalam perjalanan. Jika sang musafir mengharap perhatian orang, maka berarti riya’ dan sombong pasti segera diguratkan. Padahal hati juga ambil bagian, dia merangkak mendaki tertatih-tatih mencari pertolongan, supaya Sang Kholik mencurahkan pandangan, maka permadani pengabdian dibentangkan.

Padamkanlah api nafsu setan, agar pelita hidayah berdatangan, seperti ketika malam kelam mendatang, sedang lampu pinggir jalan dipadamkan, maka gemerlap bintang bermunculan berdendang riang.

Sungguh nafsu dan hati selalu saling berlomba dalam mengambil keuntungan, seperti api dan air dalam kebakaran. Namun yang satu membakar yang satunya memadamkan. Jika keduanya dibiarkan berkembang, pasti akan saling berebut mencari makan, maka tinggal mana yang kuat akan menjadi pemenang. Dalam amal kebajikan api hawa nafsu harus dipadamkan. Jika tidak, maka hati tidak akan mendapat bagian makan, padahal kereta malam tetap berjalan, maka sang musafir akan tertinggal di pinggir jalan.

Hati Yang Makrifatulloh

Hati seorang yang arifin bahkan tidak lagi sempat melihat jauh ke depan, bahwa setelah lewat masa sulit, masa mudahnya pasti akan datang. Itu sebagaimana yang mereka fahami dari firman-Nya: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, - sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. QS:94/5-6. 


Mereka tidak sempat berharap masa sempit itu akan berganti dengan masa lapang, tetapi di dalam kesempitan itu sesungguhnya mereka sudah merasakan lapang dada. Hal itu disebabkan karena mereka yakin, bahwa kepahitan itu adalah obat yang didatangkan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit yang ada di dalam jiwanya. Mereka menelan obat itu dengan senang hati karena mereka yakin bahwa yang sedang ditelan itu adalah obat untuk menyembuhkan jiwa.


http://www.facebook.com/notes.php?id=1298566904&style=1#!/note.php?note_id=69466875358

Selasa, 11 Mei 2010

MENCABUT SOMBONG


Sejak sebelum diciptakan, manusia sudah ditentukan Allah Ta'ala akan menjadi kholifah-Nya di muka bumi. Ketentuan azaliyah itulah yang disebut dengan qodo'. Allah SWT. telah menegaskan dengan firman-Nya:
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui". QS:2/30.
Sedangkan kehidupan manusia pertama, oleh Allah Ta'ala sebagai qodar-Nya telah ditempatkan di surga. Maka tidak bisa tidak, Nabi Adam as. dan istrinya suatu saat pasti harus turun ke bumi. Mengikuti alur kehendak yang sudah ditetapkan baginya sejak zaman azali itu. Adapun penyebabnya adalah perbuatan dosa. Yang demikian itu karena sedikitpun Allah Ta'ala tidak berbuat dholim kepada hamba-Nya.

Karena kejadian yang menyebabkan orang harus turun dari kebahagiaan kepada kesengsaraan hidup dan penderitaan panjang tersebut tidaklah harus semata-mata terbit dari kehendak Allah, melainkan harus terbit dari kesalahan manusia itu sendiri. Yaitu disebabkan karena manusia telah menentukan pilihan hidupnya sendiri yang namanya "huriyatul irodah".
Artinya manusia harus menentukan pilihan hidupnya sendiri. Namun ketika ternyata pilihan hidup itu salah maka manusia itu sendiri yang akan menanggung akibat kesalahannya sendiri. Itulah sunatullah yang sejak ditetapkan tidak akan ada perubahan lagi untuk selama­lamanya.
Meski turunnya Nabi Adam as. dan istrinya Siti Hawa dari surga ke bumi ternyata akibat perbuatan dosa. Namun demikian, apabila dengan dosanya itu ternyata manusia mampu mengambil pelajaran. Mencari hikmah dari penderitaan yang diakibatkan oleh dosa tersebut. Yaitu meski perbuatan dosa itu dapat menyebabkan musibah dan penderitaan panjang, namun apabila akhirnya dapat menjadikan hidup manusia itu menjadi lebih baik, lebih meningkatkan ketakwaan kepada Allah Ta'ala, berarti secara hakiki perbuatan dosa itu bukan kejelekan tapi kebaikan.
Sebab, setiap amal perbuatan bergantung bagaimana hasil akhirnya. Kalau hasil akhir itu adalah kebaikan maka apapun bentuknya, berarti amal itu adalah amal kebaikan. Sebaliknya, kalau hasil akhir sebuah amal itu adalah kejelekan, maka apapun bentuknya, berarti amal itu adalah amal kejelekan.
Maka dosa tapi dapat menjadikan baik, yang demikian itu memang kadang-kadang dibutuhkan oleh kehidupan manusia. Sebab, hanya dosa seperti itulah yang akan mampu mencabut sifat sombong yang ada dalam hati manusia itu.
Yaitu ketika manusia harus menangung akibat dosa itu dengan penderitaan hidup di penjara misalnya, yang dengan itu kemudian manusia menjadi sadar dan menyesal kemudian berbuat benah-benah. Hasilnya, manusia baru mengerti, bahwa sejatinya yang menyeretnya kepada perbuatan dosa tersebut adalah semata-mata kesombongan hatinya sendiri. Keangkuhan hati yang selama ini tidak disadari, meski berkali-kali telah diperingati. Kecuali ketika kesombongan itu sudah tidak mungkin dapat diulangi lagi, karena jati diri telah menjadi musnah dimakan usia di balik terali besi.