Rabu, 16 Desember 2009

TADBIR DAN CARA MENYIKAPINYA (SYARAH HIKAM BAB 4)


TADBIR DAN CARA MENYIKAPINYA

اَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ, فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ

“Lenturkan hatimu untuk menerima apa yang sudah dalam pengaturan, apa saja yang sudah diatur oleh selainmu maka kamu jangan mengaturnya untuk dirimu”.


hikam
Mengatur diri untuk menerima dan mengikuti segala yang diatur Allah bagi diri sendiri merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang hamba. Menentukan pilihan terhadap apa yang sudah dipilihkan Allah untuk diri pribadi merupakan keharusan untuk dapat melaksanakan pengabdian hakiki. Hal itu disebabkan, karena hanya Allah yang Maha Pencipta, maka hanya Allah yang terlebih dahulu mengatur segala kehidupan alam semesta. Allah s.w.t menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya:

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)”. (QS. al-Qashash(28)68)
Apabila ada pengaturan selain-Nya yang berjalan tidak sesuai dengan aturan Allah pasti akan sia-sia. Dan ketika masa tangguhnya telah terlewati, aturan itu pasti akan hancur berantakan tanpa ada bekasnya lagi.
Seorang hamba wajib melaksanakan ibadah, namun juga merupakan kewajiban yang tidak kalah pentingnya adalah mengatur dan memilih jenis ibadah tersebut minimal mendekati ketetapan yang sudah ditentukan Allah s.w.t sejak zaman azali. Caranya, menghadapi realita baik senang maupun susah dengan hati yang pasrah. Melenturkan hasrat dan semangat, mengikuti apa yang sedang dihadapi, karena yang sudah terjadi pasti sesuai dengan kehendak Allah untuk dirinya, dengan asumsi bahwa Allah tidak pernah salah di dalam berbuat.
Allah mencintai orang-orang yang beriman (QS.al Baqoroh/257). Adakah orang yang mencintai akan memberi sesuatu yang tidak layak bagi orang yang dicintai? Oleh karenanya, seluruh ketetapan Allah pasti merupakan hal yang terbaik bagi orang beriman. Namun demikian, tinggal bagaimana kekuatan iman orang tersebut dalam menyikapi ketetapan Allah itu dengan hati selamat. Ketika seorang hamba menghadapi sesuatu yang tidak sesuai dengan harapannya, menghadapi musibah dan fitnah misalnya. Sanggupkah hatinya tetap yakin bahwa hal tersebut merupakan ujian untuk meningkatkan keimanan dan kecintaannya kepada Allah. Jika tidak, berarti bukan Allah tidak mencintainya tetapi pertanda cintanya kepada Allah kurang sempurna.
Allah s.w.t adalah Sang Pencipta dan Sang Pengatur Alam Semesta, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa`at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?.” (QS.Yunus( 10) 3)
Hanya Allah yang mengatur segala kejadian baik di langit maupun di bumi. Merupakan bagian dari aturan-Nya itu, Allah juga mentarbiyah hati hamba-hamba-Nya yang beriman. Dengan tarbiyah itu supaya iman di hati mereka tumbuh berkembang menjadi yakin dan ma’rifatullah. Oleh sebab itu, terhadap hamba-hamba yang dicintai itu, apa saja yang ada dalam kehidupan mereka senantiasa dijadikan sebagai sarana dan media supaya Allah s.w.t dapat berkomunikasi dan menyampaikan segala kehendak-Nya:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”. (QS.al-Anbiya’(21)35)
Keburukan dan kebaikan yang terjadi, semua itu bertujuan supaya seorang hamba senantiasa sadar bahwa ia harus kembali kepada Allah dalam keadaan baik sebagaimana asalnya. Kembali dalam keadaan sebagaimana fithrahnya. Untuk tujuan tersebut keburukan dan kebaikan dijadikan sebagai media fitnah atau ujian bagi hamba-hamba yang dicintai-Nya. Dalam menghadapi realita hidup tersebut, kekuatan iman adalah hal yang sangat menentukan supaya seorang hamba mampu menyikapinya dengan tepat.
Kalau iman dalam hati sudah kuat maka jiwa akan menjadi mantab. Kalau hati sudah percaya bahwa keduanya hanyalah sekedar batu ujian untuk menjaga kekuatan iman, maka apapun yang sedang dihadapi sesungguhnya secara hakiki hanya menghadapi Allah s.w.t sebagai kehendak dan pilihan-Nya.
Oleh karena itu, Allah s.w.t haruslah yang paling dicintai. Jika yang dicintai oleh seorang hamba hanya Allah, sedangkan yang selain-Nya sekedar sarana guna mengaktualisasikan kecintaan tersebut, maka baginya tidak ada pilihan dalam menghadapi realita, baik susah maupun senang pasti akan dirasakan sama-sama nikmat. Ketika menghadapi susah, hatinya malah menjadi senang, karena ia yakin bahwa di balik susah itu pasti ada senang. Namun sebaliknya, ketika sedang menghadapi senang, hatinya malah menjadi susah dan prihatin, karena ia tahu bahwa di balik senang itu pasti adalah susah menunggu giliran datang. Oleh karena itu, senang tersebut tidak dihabiskan sendiri, tetapi dibagi bersama orang-orang lain.
Orang beriman tidak boleh mengikuti kemauannya sendiri ketika ia tahu bahwa Allah sudah memilihkan ketetapan untuk dirinya, apabila hal tersebut dilakukan berarti ia berbuat durhaka kepada Tuhannya. Allah s.w.t telah menegaskan dengan firman-Nya:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS.al-Ahzab(33)36)
Sebagai seorang kholifah bumi, manusia harus mengatur diri sendiri supaya hidupnya menjadi baik, namun sebagai seorang hamba ia harus menerima segala aturan yang sudah ditetapkan Allah Ta’ala bagi dirinya. Padahal tidak banyak orang tahu, mana yang harus diatur dan mana yang sudah diatur oleh Allah untuk dirinya. Oleh karena itu, orang-orang beriman harus mampu mengenal siapa dirinya dan siapa Tuhannya. Mengenal hak dan kewajibannya di hadapan Tuhannya, itulah yang dimaksud ma’rifatullah. Dengan pengenalan tersebut mereka menjadi tahu, mana yang harus di atur mana yang harus diterima.
Apabila tidak demikian, apabila manusia hanya mengatur saja dan tidak mau menerima aturan Allah untuk dirinya, maka ketika aturannya tersebut ternyata tidak menghasilkan kenyataan sebagaimana yang diharapkan, seringkali mereka menjadi putus asa. Ketika aturan tersebut berkaitan dengan urusan secara horizontal, maka dari sinilah awal mula terbitnya penyakit hasud, iri dan dendam kepada sesama manusia. Terlebih ketika kemampuan hidupnya sudah menipis karena digerogoti usia yang  semakin habis sedangkan kenyataan hidup belum menunjukkan tanda-tanda menuju harapan dan keinginan, maka dalam kondisi demikian manusia bahkan menjadi stress dan kehilangan diri. Penyakit-penyakit datang bertumpukan karena hidup berjalan tidak seimbang.
Untuk menjadi kholifah bumi manusia harus membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan untuk menjadi seorang hamba yang berma’rifat manusia harus memperbanyak berdzikir kepada Allah. Jadi perpaduan antara dzikir dan pikir yang dibangun secara seimbang dalam kehidupan akan mampu menjadikan jiwa menjadi kuat dan tahan uji. Menjadi manusia sempurna baik lahir mapun batin, lahirnya penuh dengan ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan batinnya penuh dengan hidayatullah. Itulah yang dimaksud dengan insan kamil. Allah Ta’ala memberikan sinyalemen dengan firman-Nya yang artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal – (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.(QS.Ali Imran(3)190-191)


(malfiali, 28 Oktobar 2008)

ANTARA JAMINAN DAN KEWAJIBAN (SYARAH HIKAM BAB 5)


ANTARA JAMINAN DAN KEWAJIBAN

اِجْتِهَادُكَ فِيْمَا ضُمِنَ لَكَ وَتَقْصِيْرِكَ فِيْمَا طُلِبَ مِنْكَ دَلِيْلٌ عَلَى اِنْطِمَاسِ البَصِيْرَةِ مِنْكَ

“Kesungguhan dalam mengusahakan sesuatu yang sudah terjamin bagimu dan keteledoran dalam menjaga apa yang diwajibkan bagimu, menunjukkan tanda-tanda bahwa matahatimu dalam keadaan tertutup”.

hikam
Seluruh makhluk baik di langit maupun di bumi diciptakan Allah Ta’ala untuk kepentingan manusia. Maksudnya, hikmah penciptaan mereka itu hanya untuk hidup manusia, bukan sebaliknya: “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.” (QS. al-Jatsiyah; 13)
Merupakan rahmat Allah Ta’ala yang terbesar bagi manusia, malaikat dan jin  diciptakan untuk manusia, bukan sebaliknya. Bukan Nabi Muhammad s.a.w diciptakan untuk melayani malaikat Jibril, tapi malaikat Jibril tercipta untuk melayani Nabi Muhammad s.a.w. Terlebih lagi makhluk yang ada di bumi, mereka semua tercipta hanya untuk kebutuhan hidup manusia. Di udara dengan aneka macam burung-burung dan di bumi dengan tumbuhan dan hewan, demikian juga di laut dengan ikan-ikannya. Semua itu ditebarkan dengan melimpah ruah hanya untuk kebutuhan hidup manusia.
Adapun manusia hanya diciptakan untuk Allah s.w.t, hanya untuk mengabdi kepada-Nya, tidak boleh mengabdi kepada selain-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz Dzariyat; 56) Artinya, dengan seluruh potensi alam tersebut, manusia harus dapat mempergunakannya untuk mengabdi kepada-Nya. Apabila ada pengabdian kepada selain-Nya, seperti kepada guru-guru, orang tua, istri dan anak serta kepada sesama manusia, pengabdian itu dijadikan wasilah guna melaksanakan pengabdian hakiki kepada Allah s.w.t
Secara umum rizki yang disediakan Allah bagi manusia tersebut ada tiga sifat:
1.    Rizki yang dijamin. Rizki yang dijamin ini bukan hanya untuk manusia saja, bahkan untuk seluruh makhluk yang ada. Yaitu rizki-rizki yang sudah tersedia dan ditebarkan Allah Ta’ala di muka bumi, meski cara mendapatkannya harus dengan jalan usaha (ikhtiar). Allah menegaskan dengan firman-Nya:

وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُوم

“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu”. (QS. Al Hijr/15; 21)
Betapapun kerasnya seseorang berusaha, seandainya rizki-rizki itu tidak tersedia sebelumnya, bisakah mereka mendapatkannya? Seperti orang menanam benih, seandainya tanah yang ditanam tidak tercipta dapat menumbuhkan tanaman, dapatkah mereka manuai hasilnya? Demikianlah sunnah yang sudah ditetapkan (sunnatullah). Dengan sunnah-Nya pula setiap makhluk mendapatkan rizki yang sudah ditetapkan baginya.
2.    Rizki yang ditambahkan. Rizki ini bisa didapatkan ketika seorang hamba mampu bersyukur kepada Allah. Hal itu dinyatakan dalam firman-Nya; “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. 14; 7) Kalau manusia belum bisa bersyukur, padahal dia mendapatkan rizki yang melimpah, berarti didatangkan dari jenis “rizki yang dijamin”, bukan yang ditambahkan. Hanya saja ia mendapatkan bagian yang lebih besar daripada orang lain.
3.    Rizki yang dijanjikan. Yaitu rizki yang didatangkan dari rahasia (buah) ibadah yang dijalani. Sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُون

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS.an Nahl/ 16; 97)
Adapun kebutuhan hidup manusia juga terdapat tiga macam. Pertama untuk kecukupan hidup (primer). Kedua untuk kesempurnaan hidup (sekunder) dan ketiga untuk kesenangan hidup (tersier). Kebutuhan untuk kecukupan hidup, boleh jadi semua orang hidup sudah mendapatkan. Buktinya, bagaimanapun susahnya hidup seseorang, rata-rata mereka masih bisa makan minimal dua kali sehari. Sedangkan kebutuhan untuk hidup sempurna, oleh karena tingkat kesempurnaan hidup ada batasnya, maka yang demikian itu bisa direncanakan dan dibatasi. Berbeda bila yang dibutuhkan hidup adalah memperturutkan kesenangan, terlebih hanya berdasarkan kemauan hawa nafsu, kebutuhan inilah yang tidak terbatas, karena batasan senang hanyalah kematian.
Jika ketiga rizki tersebut dikaitkan dengan ketiga jenis kebutuhan hidup, maka cara mengusahakannya menjadi variatif. Jalan ikhtiar itu mengikuti jenis kebutuhan hidup tersebut. Saat itulah “iman dan tawakkal” seorang hamba diuji. Apabila dalam mengusahakan “rizki yang sudah dijamin” menjadikan sebab keteledorannya terhadap sesuatu yang diwajibkan, yakni beribadah dan mengabdi kepada Dzat yang memberikan rizki tersebut, berarti menunjukkan tanda-tanda matahatinya sedang tertutup.

Sarana Ibadah

Seringkali orang mengatakan, bahwa rizki-rizki yang dimiliki sekedar untuk mencukupi kebutuhan ibadah. Kalau dalam mencari rizki itu memang benar-benar mencari sarana ibadah, maka usaha itu juga termasuk ibadah. Namun, seperti orang mengerjakan shalat, setiap ibadah pasti ada syarat dan rukunnya serta syah dan batalnya ibadah, maka dalam mengusahakan rizki itu manusia harus memilih jalan yang dibenarkan dan dihalalkan oleh Agama.
Dalam kaitan tersebut, keadaan hati manusia dapat terbaca dari bagaimana cara mereka mensikapi harta benda yang sudah dimiliki. Kalau harta-harta itu ternyata memudahkan untuk melaksanakan ibadah dan ringan dibelanjakan di jalan Allah, berarti—usahanya dalam mendapatkan rizki tersebut— benar-benar ibadah. Apabila tidak, bahkan usahanya dalam mencari rizki-rizki tersebut ternyata justru mengalahkan kewajibannya dalam melaksanakan ibadah, maka boleh jadi yang terjadi adalah sebaliknya, justru ibadah yang dilakukan itulah, sesungguhnya hanya dipergunakan sebagai sarana untuk mendapatkan rizki dunia. Jika demikian, berarti matahati manusia itu dalam keadaan buta.
Oleh karena sebagian manusia hanya melihat dengan mata lahir saja sedangkan mata batinnya buta, maka yang tampak hanya kebutuhan hidup yang lahir bukan yang batin, kebutuhan nafsu syahwat bukan kebutuhan hati dan ruhani. Akibatnya, meski mereka telah melaksanakan amaliyah yang berkaitan dengan urusan yang batin, seperti berdzikir misalnya, namun tujuan akhirnya hanya untuk memenuhi kebutuhan yang lahir. Bahkan majlis dzikir itu hanya dijadikan sarana untuk kepentingan politik. Fenomena berbicara, belakangan ini banyak majlis dzikir didirikan tetapi tujuannya untuk kepentingan duniawi. Mereka mengumpulkan orang banyak dalam wadah ‘majlis dzikir’, tetapi tujuannya bukan untuk berdzikir kepada Allah melainkan supaya orang-orang yang dikumpulkan itu memilih dirinya menjadi pejabat atau wakil pejabat. Hal tersebut menunjukkan bahwa  sebagian manusia terbukti banyak yang matahatinya buta. (malfiali, 1 Nofember 2008)

JANGAN PUTUS ASA KEPADA ALLAH (SYARAH HIKAM BAB 6)


JANGAN PUTUS ASA KEPADA ALLAH

لَا يَكُنْ تَأَخُّرُ اَمَدِ العَطَاءِ مَعَ الاِلْحَاحِ فِى الدُّعَاءِ مُوْجِبًا لِيَأسِكَ فَهُوَ ضَمِنَ لك الاِجَابَةَ فِيْمَا يَخْتَارُهُ لَكَ لَا فِيْمَا تَخْتَارُ لِنَفْسِكَ وَفِى الوَقْتِ الَّذِى يُرِدُ لَا فِى الوَقْتِ الَّذِى تُرِيْدُ

“Tertundanya pemberian setelah do’a itu dipanjatkan dengan berulang-ulang, hal itu jangan menimbulkan putus asamu kepada Allah. Sebab, Allah telah menjamin diterimanya do’a, akan tetapi mengikuti pilihan Allah untukmu bukan mengikuti pilihanmu untuk dirimu dan di dalam waktu yang dikehendaki Allah bukan di dalam waktu yang engkau kehendaki”.

Jangan Putus Asa
Berdo’a adalah salah satu kewajiban seorang hamba kepada Tuhannya. Allah s.w.t berjanji akan mengabulkan do’a-do’a tersebut sebagaimana firmanNya:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombong-kan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. al Mu’min(40)60)
Ketika seorang hamba berdo’a kepada Allah s.w.t dengan sungguh-sungguh, terlebih lagi do’a itu dilaksanakan dengan istiqamah (terus-menerus), maka do’a tersebut akan dikabulkan. Demikian itu karena Allah s.w.t sudah berjanji, maka sedikitpun Allah s.w.t tidak akan mengingkari janji-janji-Nya.
Namun demikian, do’a-do’a yang dipanjatkan itu harus memenuhi syarat sebagai do’a yang dikabulkan. Rasulullah s.a.w telah menegaskan dengan sabdanya: “Setiap do’a yang dipanjatkan oleh seorang hamba kepada Allah s.w.t asal tidak tercampur dengan dosa dan memutuskan tali silaturrahmi, do’a itu akan dikabulkan dalam tiga pilihan:(1) Diturunkan seketika di dunia dalam bentuk pemberian sesuai dengan permintaan; (2) Dijadikan simpanan di akhirat sebagai kafarat dari dosa-dosanya; (3) Digantikan sebagai ganti musibah yang tidak jadi diturunkan demi keselamatannya.” (atau yang searti dengannya).( Disampaikan oleh Hadrotusy Syekh Romo KH. Ahmad Asrory Al Ishaqy r.a dalam pengajian rutin minggu 2 di Ponpes Assalafi Al Fithrah Kedinding Surabaya)
Oleh karena itu, setelah do’a-do’a tersebut dipanjatkan, hendaknya seorang hamba yakin bahwa do’a-do’anya akan dikabulkan, walau ijabah itu dalam tiga pilihan yang masih dirahasiakan tersebut. Hanya Allah s.w.t yang Memilih, Menghendaki dan Mengetahuinya. Allah s.w.t berfirman: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. al-Baqoroh; 2/186)
Asy-Syekh Ibnu Athaillah r.a meneruskan:

لَا يُشَكِّكَنَّكَ فِى الوَعْدِ عَدَمَ وُقُوْعِ المَوْعُوْدِ وَاِنْ تَعَيَّنَ زَمَنُهُ لِئَلّاَ يَكُوْنَ ذَلِكَ قَدْحًا فِى بَصِيْرَتِكَ وَاِخْمَادًا لِنُوْرِ سَرِيْرَتِكَ

“Jangan sekali-kali meragukan janji Allah karena belum terpenuhinya janji itu walau batas pelaksanaannya sudah sangat dekat, supaya yang demikian itu tidak menjadikan redupnya sinar mata hatimu dan memadamkan cahaya rahasia batinmu”.
Allah s.w.t Lebih Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya, baik urusan dunia, agama maupun akhirat. Terlebih urusan rizki, karena dengan urusan rizki-rizki itu manusia bisa menjadi selamat atau tidak. Allah s.w.t tidak mengingkari janji-Nya bahwa setiap hamba-Nya yang berdo’a dengan benar pasti akan dikabulkan-Nya. Janji Allah tersebut ditegaskan dengan firman-Nya:

وَعْدَ اللَّهِ لَا يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“(sebagai) janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”. (QS.ar Rum(30)6)
Namun demikian, bagi hamba-hamba yang beriman—berkat kasih sayang-Nya yang dalam kepada mereka—apa saja yang diberikan kepadanya haruslah yang menjadikan mereka lebih baik. Dalam hal ini Allah s.w.t adalah yang lebih mengetahuinya. Allah s.w.t menegaskan dengan firman-Nya : “Dan jikalau Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat”. (QS. 42; 27)
Oleh karena itu, jika ada janji Allah s.w.t yang seakan-akan belum terpenuhi, padahal menurut pengetahuan dan perasaan seorang hamba yang sedang terdesak, seharusnya saat terpenuhinya janji itu sudah sangat mendesak, bahkan sudah tidak ada waktu lagi untuk tertunda. Dalam hal yang demikian itu, janganlah menjadikan hati seorang hamba ragu-ragu kepada Allah s.w.t.

Siap Menerima Kenyataan

Bagaimanapun keadaan yang akan dan sedang terjadi, hati seorang hamba yang beriman hendaknya tetap yakin serta siap menghadapi, bahwa apa saja yang dikehendaki Allah s.w.t pastilah yang terbaik untuk dirinya. Yang demikian itu, supaya matahati dan cahaya rahasia batin tidak menjadi redup dan padam. Sebab, ketika ujian-ujian hidup itu sudah cukup menurut pandangan Allah, dan ketika seorang hamba telah melewatinya dengan nilai yang baik, maka problematika kehidupan dan bahkan konflik-konflik horizontal yang telah berlalu, sesungguhnya itu merupakan proses masuknya ilmu pengetahuan dalam hati yang tinggi nilainya. Itulah ilmu rasa, ilmu pengetahuan yang dapat mematangkan jiwa manusia. Ilmu pengetahuan yang mampu menebalkan keyakinan, membakar lapisan kabut hati sehingga menjadikan matahati seorang hamba semakin cemerlang dengan Nur Ma’rifat  kepada Allah.
Hanya dengan cara seperti itulah Allah s.w.t memperjalankan kehidupan para hamba pilihan-Nya dan bahkan para nabi dan rasul-Nya. Mereka itu semua diperjalankan dalam realita kehidupan yang sesungguhnya. Mereka harus menghadapi kesulitan dan tantangan serta goncangan-goncangan hidup yang tidak ringan:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ


“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?”. Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (QS. al Baqoroh; 214)
Ketika keadaan mereka itu benar-benar telah terdesak baru pertolongan-Nya diturunkan, karena sungguh sedikitpun Allah s.w.t tidak akan mengingkari janji-Nya. Untuk menyikapi hal tersebut, menyangka baik adalah kuncinya. Orang yang mampu berhusnudz dzan kepada Tuhannya berarti telah mencapai 90% keberhasilan hidupnya. (malfiali,  7 Nofember 2008)

TERBUKANYA MATAHATI MENUJU MA’RIFATULLAH (SYARAH HIKAM BAB 7)


TERBUKANYA MATAHATI MENUJU MA’RIFATULLAH

اِذَا فَتَحَ لَكَ وِجْهَةً مِنَ التَّعَرُّفِ فَلَا تُبَلِ مَعَهَا اِنْ قَلَّ عَمَلُكَ فَاِنَّهُ مَا فَتَحَهَا لَكَ اِلَّا وَهُوَ يُرِيْدُ اَنْ يَتَعَرَّفَ اِلَيْكَ اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ التَّعَرُّفَ هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ وَالأَعْمَالُ اَنْتَ مُهْدِيْهَا اِلَيْهِ , وَاَيْنَ مَا تُهْدِيْهِ اِلَيْهِ مِمَّا هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ .

Apabila Allah berkehendak membukakan wijhah hatimu untuk menerima ma’rifat, maka tidak peduli lagi walau amalmu sedikit. Karena bila Allah membuka hatimu semata-mata karena berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepadamu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya ma’rifat itu didatangkan untukmu dan amalmu adalah persembahan untuk-Nya, mana yang lebih tinggi nilainya bagimu, apa yang datang darimu atau apa yang didatangkan kepadamu?.
Hikam
Wijhah merupakan anugerah Allah s.w.t kepada seorang hamba yang letaknya di dalam hati sanubari. Meski didatangkan sebagai buah ibadah, namun datangnya wijjah tersebut semata-mata kehendak azaliah bukan karena ibadah yang dilakukan itu. Dengan wijhah, seorang hamba dapat melaksanakan tawajjuh (menghadap dan wushul) kepada Allah s.w.t. dengan benar. Yang dimaksud tawajjuh sebagaimana yang dinyatakan Allah s.w.t dalam firman-Nya berikut ini:
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya aku menghadapkan hadapanku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan tidak menoleh kepada yang selain-Nya (hanifa) dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan Tuhan”. (QS. al-An’am; 6/79)
Dengan wijhah itu pula seorang hamba mendapatkan kemuliaan dan kedekatan di sisi Tuhannya: “Seorang terkemuka (mempunyai wijhah) di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)”. (QS. Ali Imran; 45) Namun hal tersebut bisa terjadi manakala pintu wijhah itu sudah dibuka (di dalam hati), atau seorang hamba telah mendapatkan futuh dari Tuhannya, dengan itu maka dia akan berma’rifat dengan-Nya.
Ma’rifat artinya mengenal dan yang dimaksud adalah mengenal Allah s.w.t (ma’rifatullah). Orang yang ma’rifatullah adalah orang yang kenal kepada Allah s.w.t. Kenal kepada nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, kekuasaan dan pengaturan-Nya, akhlak dan perbuatan-Nya. Kenal, baik secara rasional (teori ilmiah) maupun secara spiritual (perasaan dalam hati). Namun yang dimaksud ma’rifatullah adalah kenal secara spiritual.
Seorang hamba yang ma’rifat adalah seorang hamba yang bertakwa kepada Tuhannya. Seorang hamba yang ma’rifat adalah seorang hamba sanggup berbuat benar (shiddiq) dan tidak salah di hadapan Tuhannya. Yang demikian itu, karena ia tahu apa yang dikehendaki Allah s.w.t untuk dirinya.
Semakin seorang hamba berma’rifat kepada Allah s.w.t, maka ia akan menjadi semakin mencintai-Nya karena ia semakin mengetahui dan semakin merasakan, bahwa Allah s.w.t sudah berbuat kebaikan yang sangat banyak kepada dirinya: “Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu”. (QS. Al- Qoshosh; 77)
Semakin seorang hamba mencintai Tuhannya, semakin itu pula ia mampu melaksanakan pengabdian yang hakiki. Sebab, hanya kepada yang dicintai, seseorang akan mampu melaksanakan pengabdian yang benar. Demikian juga, semakin seorang hamba mampu melaksanakan pengabdian yang hakiki kapada Tuhannya berarti derajatnya di sisi Allah s.w.t akan menjadi semakin tinggi. Oleh karena itu, orang yang paling berma’rifat dan paling bertakwa dan paling mulia di sisi Allah s.w.t adalah Rasulullah s.a.w. Hal itu karena Beliau paling mencintai dan paling dicintai oleh Allah s.w.t.
Untuk mencapai ma’rifatullah. Secara teori, seorang hamba akan diperjalankan oleh tarbiyah Allah s.w.t dengan dua cara:
1. Kehendak yang datangnya dari atas ke bawah. Artinya, semata-mata wijhah yang ada di dalam hati—yang asalnya tertutup—dibuka oleh Allah s.w.t. Hijab-hijab matahati dihapuskan. Penutup pintu rahasia dibukakan. Seperti orang menyalakan lampu, maka yang asalnya gelap menjadi terang, yang asalnya tidak kenal kemudian menjadi kenal. Bagaikan mendung ketika sirna, matahari kemudian berada di atas kepala. Hal itu karena Allah s.w.t memang berkehendak mengenalkan diri kepada hamba-Nya, tidak dengan sebab yang lain, tidak dengan sebab amal ibadah yang sudah dikerjakan. Yakni, seorang hamba menjadi mengenal kepada-Nya semata-mata karena Allah s.w.t adalah Dzat Yang Maujud:
قُلِ اللَّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
“Katakanlah : “Allah-lah” kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (QS. al-An’am; 6/91).
2. Kehendak dari bawah kemudian ke atas. Artinya terlebih dahulu seorang hamba dikenalkan kepada makhluk-makhluk-Nya baru kemudian dikenalkan kepada Al-Khalik (penciptanya), Sebagaimana firman Allah s.w.t:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (QS. 2; 164)

subhanalloh
“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(QS. Ali Imran/191)
Perhatian dan penelitian seorang hamba terhadap semua itu menghasilkan suatu kesimpulan bahwa betapa Allah s.w.t telah banyak berbuat baik kepada umat manusia dan betapa sangat banyak manusia yang tidak mengetahui dan tidak menyadarinya dan bahkan kafir kepada-Nya. Pemahaman tersebut kemudian menjadikan tumbuhnya rasa kecintaan yang mendalam kepada-Nya. Hasilnya, mendorong dirinya untuk bertaubat dengan taubatan nasuha dan meningkatkan diri dalam melaksanakan pengabdian kepada Allah s.w.t.
Ma’rifat yang pertama adalah ma’rifat yang langsung memancar dari hati dan ruh (spiritual) yang kemudian dipancarkan lagi di dalam akal dan fikir (rasional ilmiah) yang selanjutnya dapat teraktualisasikan melalui akhlak dan perbuatan. Itu bisa terjadi karena seorang hamba memang telah terlebih dahulu dicintai Allah kemudian ia mencintainya. Ma’rifat yang pertama ini lebih kuat daripada ma’rifat yang kedua karena ia lebih hakiki adanya dan karena sesungguhnya letak ma’rifat itu adalah di dalam hati.


Ulul Albab
Ulul Albab
Ma’rifat yang kedua adalah ma’rifat hati (spiritual) juga, akan tetapi masuknya terlebih dahulu melalui akal dan fikir (rasional). Yakni pengenalan seorang hamba kepada kejadian-kejadian yang ada di bumi dan di langit menjadikannya mengenal kepada Sang Pencipta. Seperti orang yang mengenal buah karya tulis, ketika semakin dalam pengenalannya akhirnya ia ingin mengenal penulisnya.
Walau jalan masuknya ma’rifat yang kedua ini melalui rasional, akan tetapi ketika masuk ke dalam spiritual (hati), masuknya ma’rifat itu semata kehendak Allah. Hanya saja kehendak itu telah didahului oleh kehendak-kehendak yang sebelumnya—sebagai sebab-sebab yang tersusun tertib untuk mendapatkan akibat yang baik,—yaitu pahala dari amal ibadah yang sudah dilakukan.
Bukan karena semata-mata amal ibadah yang dapat menjadikan seorang hamba berma’rifat kepada Allah s.w.t, akan tetapi sesungguhnya amal ibadah tersebut terlebih dahulu dijadikan sebab-sebab untuk bisa terpenuhi suatu proses pematangan ilmu pengetahuan secara rasional. Yakni supaya sampai kepada suatu akibat yang baik, yaitu pendewasaan ilmu dan akhlak secara spiritual.
Amal ibadah adalah persembahan seorang hamba kepada Tuhannya sedangkan ma’rifat adalah pemberian Allah kepada hamba-Nya, manakah yang lebih tinggi nilainya? Oleh karena itu, apabila Allah s.w.t berkehendak membukakan pintu wijhah hati seorang hamba untuk menerima Nur Ma’rifat, tidak peduli walau hamba-Nya itu sedang lemah dan sedikit amal ibadahnya. (malfiali, Desember 2008)

Rabu, 11 November 2009

MENCARI ILMU LADUNI (part 2)




إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (4) أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ (5) رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan * Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah *Urusan dari sisi Kami, sesungguhnya Kami adalah yang mengutus * Sebagai rahmat dari Tuhanmu, Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. QS. 44/3-6)

Firman Allah SWT. : فيها يفرق كل أمر حكيم Pada malam itu dibedakan segala urusan yang penuh hikmah”.(44/4). Artinya; Lafad “Yufroqu” dari kata Faroqo artinya membedakan. Maksudnya : Pada malam itu Allah SWT menurunkan “Furqon” di dalam hati hamba-Nya sehingga orang tersebut mampu membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mana yang halal dan mana yang haram, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus dikerjakan dan mana yang tidak. Al-Furqon itu tidak hanya yang di ucapkan di bibir saja, namun juga menjadi karakter dan kebiasaan yang mendasari perilaku keseharian.

Itu disebabkan, ketika “rahmat ilahiyat” telah dikucurkan dan kerberkahan dibentangkan serta ilmu diwariskan, maka hati yang semula kotor menjadi bersih dan jernih, yang asalnya sombong menjadi merasa hina, yang asalnya keras menjadi lunak, yang asalnya mati menjadi hidup. Bagaikan tanah baru dibajak, maka ketika bibit ditanam segera tumbuh menjadi pohon yang sempurna.

Ketika secara global “ilmu laduni” telah disematkan di dalam hati, maka menjadi bagaikan bibit yang ditanam di tanah yang subur, lalu sang petani harus menindaklanjuti dengan perawatan tahap demi tahap sampai tanaman itu tumbuh dan berbuah. Seperti itu pula Ilmu Laduni, ketika saatnya rincian dari yang global itu dibacakan, yakni melalui ayat-ayat yang tersirat, antara kejadian demi kejadian dalam romantika dan realita, maka bibit itu akan tumbuh berkembang menjadi tanaman yang kuat dan subur sehingga buahnya setiap saat dapat dipetik. Seperti itu pula keadaan Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan secara global di Baitul Izzah, kemudian secara rinci disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Baginda Rasul saw selama dua puluh tiga tahun mengikuti kejadian demi kejadian.

Adalah ayat-ayat yang tersurat dan ayat-ayat yang tersirat ketika dipadukan secara komulatif dalam pelaksanaan dzikir dan pikir, akan melahirkan ilmu lagi secara intuitif, yaitu ilmu yang memancar dari bisikan kalbu atau ilham kepada akal secara spontan dan langsung dengan tanpa perantaraan melihat maupun mendengar. Yang demikian itu, semata-mata karena di dalam hati yang bersih itu Allah Ta’ala mendatangkan hidayah-Nya.

Allah menegaskan hal tersebut dengan ayat yang lain:

نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ (3) مِنْ قَبْلُ هُدًى لِلنَّاسِ وَأَنْزَلَ الْفُرْقَانَ إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآَيَاتِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ

“Dia menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya. Membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil * Sebelum (Al- Qur'an), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al Furqan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa).” QS.Ali Imran. 3/3-4.

Ketika orang-orang yang hatinya ingkar bertanya: “Mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan lansung sekali turun saja?”, Allah Ta’ala menjawab dengan firman-Nya:

كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا

“Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya, dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)”. QS.al-Furqon.25/32.

Bukannya Allah tidak kuasa menguatkan hati hamba-Nya dengan cara yang lain, namun dengan ayat ini telah ditegaskan, bahwa jalan dan proses yang dipilih dan dikehendaki-Nya hanya dengan cara itu, sebagai sunnah-Nya (sunnatullah) yang tidak akan dirubah lagi untuk selama-lamanya, maka seorang hamba yang ingin mendapat kekuatan hati wajib mengikuti sunnah tersebut. Bahkan untuk kepentingan yang lebih tinggi dari ini, maka Rasulullah Muhammad SAW dadanya dibedah sampai 4X.

Firman Allah SWT. : إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (الدخان6) (Sesungguhnya Dialah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui). Artinya: Allah Maha Mendengar munajat hamba-Nya dan Maha Mengetahui isi munajatnya. Allah Maha Mendengar permintaan hamba-Nya dan Maha Mengetahui kapan saat yang tepat permintaan itu akan dikabulkan-Nya. Allah Maha Mendengar do’a-do’a hamba-Nya dan dan Allah Maha Mengetahui doa yang mana yang pantas untuk dipenuhi bagi hamba-Nya.(bersambung)



Sumber: http://www.facebook.com/notes/muhammad-luthfi-ghozali/mencari-ilmu-laduni-part-2/207834695358

MENCARI ILMU LADUNI (part 1)




Awal mula masuknya ilmu laduni di dalam hati seorang SALIK tidak diturunkan secara utuh dan siap pakai melainkan berangsur-angsur sesuai kebutuhan. Tidak seperti yang diduga para pencarinya yang mencari ilmu laduni/kesakten lewat tirakat-tirakat khusus, atau "tapa brata" yang dilakukan di gua-gua, di puncak gunung, di dalam hutan ataupun di kuburan-kuburan keramat, mereka membayangkan bisa memperoleh KESAKTIAN secara INSTAN.

Proses masuknya ilmu laduni itu awalnya secara global, lalu selanjutnya secara perincian. Seperti petani menanam, supaya pekerjaan tanam itu membuahkan hasil, maka yang ditanam adalah bibitnya, bukan tumbuhan yang bisa langsung berbuah. Lalu berproses sehingga bibit itu tumbuh menjadi tumbuhan dan kemudian berbuah. Artinya, yang dimaksud “global” adalah bibit yang disematkan dalam hati, sedangkan yang dimaksud “perincian” ibarat daun dan ranting tumbuhan yang mulai tumbuh. Ketika tumbuhan itu berbuah, maka buah itulah yang dimaksud dengan “sumber ilmu laduni”.

Oleh karenannya, ketika orang mencari “ilmu laduni” itu dengan jalan tirakat-tirakat khusus, dan apabila ternyata pencarian itu berhasil mendapatkan tahap pencapaian, terlebih apabila pencapaian itu sifatnya instan, maka bisa jadi yang masuk dalam hati tersebut bukan sumber ilmu laduni melainkan kekuatan(sulthon) setan Jin yang menipu. Jika demikian halnya, maka bisa jadi itu merupakan “istidroj” (kemanjaan) belaka yang bisa menjadi penyebab hancurnya manusia di dunia maupun di akhirat.

Proses masuknya ilmu laduni itu berjalan dengan hukum sebab akibat. Manakala sebab-sebab sudah mencukupi untuk adanya suatu ketetapan, maka akibatnya akan didatangkan sebagai janji Allah Ta’ala yang tidak akan pernah teringkari. Adalah sunnatullah yang tidak akan ada perubahan untuk selama-lamanya, maka siapa pun berpotensi mendapatkan ilmu laduni itu asal mampu membangun sebab-sebab dengan benar.

Manakala hati seorang hamba mampu mencapai batas-batas untuk terpenuhinya sebuah persyaratan, hal itu didapatkan sebagai buah mujahadah dan riyadhoh yang dilakukan, maka saat itu juga “sumber ilmu laduni” akan diturunkan di dalam hatinya, sebagai akibat yang baik. Namun demikian, ilmu laduni itu hanya diturunkan “sebagai rahmat dari Tuhanmu”, QS.ad-Dukhon.44/6. Artinya, ilmu laduni itu hanya diturunkan di dalam hati seorang hamba yang terlebih dahulu telah mampu memancarkan rahmat Allah Ta’ala kepada alam sekelilingnya, yaitu hati yang “rahmatan lil alamin”.

Proses pertama ilmu laduni itu diturunkan di dalam hati secara global. Sebagaimana “Al-Qur’an al-Karim” juga diturunkan petama kali dari Lauh Mahfud ke langit bumi di Baitul Izzah. Demikian yang dinyatakan Allah SWT. dengan firman-Nya :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (4) أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ (5) رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan * Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah *Urusan dari sisi Kami, sesungguhnya Kami adalah yang mengutus * Sebagai rahmat dari Tuhanmu, Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. QS. 44/3-6)

Sebagian Ulama berpendapat; yang dimaksud ليلة مباركة “Lailatin Mubaarokah” (malam yang penuh dengan berkah) adalah malam lailatul qodar. Juga ada yang mengatakan malam nishfu sya’ban, juga ada yang mengatakan malam baro’ah(malam kebebasan atau pengampunan dari segala dosa).

Maksudnya, oleh karena mujahadah dan dzikir yang dilakukan seorang SALIK telah mendapat penerimaan di sisi Allah Ta’ala, maka pada malam baro’ah itu sang pengembara itu akan mendapat kebebasan dari dosa-dosanya sehingga hatinya menjadi bersih dan suci serta telah memenuhi syarat untuk diturunkan potensi memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara global. Keadaan itu seperti lampu ketika dinyalakan maka ruangan yang asalnya gelap menjadi terang benderang. Demikian pula ruangan dalam dada orang tersebut, yang asalnya gelap gulita menjadi terang benderang sehingga matahati yang asalnya buta dapat melihat. Dalam istilah lain, ketika dengan LAKUnya manusia telah berhasil me-Non Aktifkan potensi NEGATIFnya, maka secara otomatif potensi POSITIFnya akan AKTIF, ini adalah sunnatullah yg tidak ada perubahan lagi selamanya.

Qotadah dan Ibnu Zaid ra. berkata: Allah SWT. menurunkan Al-Qur’an secara keseluruhan di malam lailatul qodar dari Ummul kitab ke Baitul izzah di Langit bumi, kemudian Allah menurunkan kepada Nabi-Nya saw. di waktu malam dan siang hari selama dua puluh tiga tahun.
*Tafsir Qurthubi ayat 3. surat ad-Dukhon*.

Dikatakan malam penuh berkah, (Lailatul Mubaarokah) karena pada malam itu, Allah menurunkan berkah dan kebaikan serta pahala yang besar kepada hamba-Nya. “sebagai rahmat dari Tuhanmu”. Secara khusus kandungan ayat tersebut (QS. 44/3-6) berkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada diri Rasul Muhammad saw, akan tetapi secara umum maknanya bisa dijadikan bahan kajian yang dapat digali sedalam-dalamnya, namun tentunya dengan mengikuti hidayah Allah. Sebab, Al-Qur’an al-Karim tidak hanya diturunkan untuk pribadi Rasul melainkan disampaikan kepada umat manusia sebagai “rahmatan lil ‘alamin”.

Jadi, dalam mengartikan malam “lailatul mubaarokah” tersebut tidak seharusnya secara tekstual saja seperti “malam lailatul qodar” dan “malam nishfu sya’ban”, namun juga secara kontekstual dengan mengambil makna secara filosofis. Oleh karena itu, yang dimaksud “lailatul mubarokah” itu boleh jadi dapat dicapai oleh kaum muslimin secara umum yang telah melaksanakan puasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan seperti “lailatul qodar di bulan Ramadhan” dan juga boleh jadi secara khusus di dalam hati seorang hamba yang telah merampungkan pensucian hatinya, sehingga malam itu seorang hamba mendapatkan “lailatul qodar di luar Ramadhan”. (bersambung)



Sumber: http://www.facebook.com/notes/muhammad-luthfi-ghozali/mencari-ilmu-laduni-part-1/207117770358

ILMU LADUNI, Bukan Sulapan


Al-Kisah, konon suatu saat ada seorang anak kecil katanya ketemu nabi Khidhir sa di tengah jembatan dekat rumahnya jalan menuju arah pasar. Setelah itu, anak tersebut mendadak pandai berpidato—tidak sebagaimana lazimnya anak pada usianya (usia belasan tahun), sehingga ia menjadi terkenal, dianggap keramat sehingga diundang ceramah dan dihormati di mana-mana. Layaknya seperti orang kesurupan Jin, anak itu berpidato dengan demikian ahlinya. Kata orang, ada roh suci yang memasuki jasadnya, sehingga kemudian anak itu menjadi kaya raya karena dia juga ternyata dapat mengobati orang sakit.

Contoh kejadian seperti ini, kalau tidak dicermati dengan benar—tentunya dengan penguasaan ilmu khusus tentang dunia Jin,—maka banyak orang menjadi korban. Karena sebentar kemudian anak itu pulih sebagaimana aslinya dengan tanpa membekaskan kemanfaatan untuk dirinya, dalam arti sebagaimana tujuan diturunkannya ilmu laduni. Fenomena seperti ini boleh jadi hanya merupakan tipu muslihat setan Jin untuk menciptakan sumber fitnah di masyarakat. Kelebihan singkat tersebut sebagai istidroj yang berangsur-angsur hilang sama sekali. Yang tertinggal kemudian hanya fenomena dan teka teki besar yang tidak terjawab. Lalu membentuk opini atau pola pikir yang salah di tengah masyarakat—tentang ilmu laduni, tentang nabi Khidhir—yang dapat menyesatkan banyak orang. Yakni ketika tapak tilas perjalanan anak kepanjingan Jin itu ditindaklanjuti orang lain dengan pencarian-pencarian. Mencari nabi Khidhir dan ilmu laduni di tengah jembatan menuju pasar, maka akibatnya, banyak aqidah akan menjadi rusak.

Tanda-tanda orang mendapatkan ilmu laduni itu bukan hanya yang asalnya tidak bisa berbahasa Arab, atau bahasa Inggris misalnya, kemudian menjadi bisa atau tidak bisa membaca kitab kuning, menjadi bisa. Terlebih dikaitkan dengan kelebihan dan kesaktian (karomah), semisal orang dapat menghilang seperti demit atau dapat terbang seperti burung, atau dapat masuk bumi seperti caceng, atau jalan cepat seperti maling. Tanda-tanda ilmu laduni itu memang terkadang dapat terbaca dengan adanya berbagai kemudahan dan kelebihan pribadi, baik aspek ilmiah maupun amaliah, namun semua itu yang menjadikan seorang hamba dapat berma’rifat kepada Tuhannya.

Kalau toh ada tanda-tanda seperti tersebut di atas, namun hal itu bukan karena orang tersebut telah mendapatkan kesaktian “tiban”, akan tetapi karena penggodokan di dalam “kawah candradimuka” telah menghasilkan buah. Potensi kecerdasan akal yang selama ini ditutupi oleh hijab, ketika hijab itu sudah diangkat maka yang sudah cerdas menjadi semakin cerdas sehingga setiap yang sudah dibaca dan dihafalkan tidak bisa lupa lagi untuk selamanya. Allah telah menyatakan yang demikian itu dengan firman-Nya: “Kami akan membacakan (Al -Qur'an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa”.(QS. al-A’la; 6)

Artinya, kalau ada orang yang asalnya tidak dapat membaca kitab kuning, dalam waktu yang relatif singkat kemudian menjadi bisa, apabila kemampuan itu didapatkan dari sumber ilmu laduni, kemampuan itu bukannya datang dengan sendirinya tanpa sebab, melainkan dengan sebab-sebab dan proses yang harus dijalani. Namun, datangnya kemampuan itu dengan jalan dimudahkan, sebagai sunnah yang tidak akan ada perubahan lagi untuk selama-lamanya. Sebagaimana sunnah-sunnah yang sudah diperjalankan Allah kepada para pendahulunya, yaitu para Nabi, ash-Shiddiq, asy-Syuhada’, ash-Sholihin.

Kalau datangnya kemampuan-kemampuan itu tanpa sebab dan tanpa proses yang harus dijalani oleh manusia, itu berarti “sulapan” atau daya sihir, yang kadang-kadang datangnya dari setan Jin, sebagai “istidroj” atau kemanjaan sementara bagi manusia dan ketika masa tangguhnya habis, berangsur-angsur akan dihilangkan lagi untuk selamanya bersama kehancuran orang yang memilikinya.

Demikian pula, ketika pencarian-pencarian sumber ilmu laduni yang dilakukan oleh seorang salik terjebak dengan gambaran personal bukan karakter. Mencari nabi Khidhir secara personal, di pinggir-pingir laut di muka bumi misalnya, bukan secara karakter di dalam lautan ruhaniah yang ada dalam hati sanubari. Mencari pertemuan dua lautan yang dapat di lihat mata, bukan lautan secara i’tibari, maka yang muncul kemudian boleh jadi penampakan visual di dalam hayal yang dihasilkan dari sihir dan tipu daya setan Jin yang sedang kasmaran.

Kalau demikian, berarti perjalanan tersebut belum menemukan tujuan yang asli, walau untuk menyelesaikan tahapan menemukan yang asli itu terkadang orang harus melalui yang palsu. Oleh karena itu yang paling utama dalam setiap amal—yang dijalankan dengan tujuan khusus—adalah fungsi guru pembimbing ahlinya. Kalau tidak demikian, dapat dipastikan bahwa perjalanan salik tersebut akan menuju jalan yang sesat.

Terkadang ada orang mengajarkan cara mendapatkan ilmu laduni dengan mengamalkan bacaan-bacaan atau "wirid khusus" tanpa diajarkan dasar ilmunya. Membaca bacaan ini dan itu, dengan cara laku seperti ini, kemudian (katanya) orang yang mengamalkan cara seperti itu akan ketemu nabi Khidhir as. lalu mendapatkan ilmu laduni dari nabi Khidhir. Yang demikian itu banyak terjadi di kalalangan para Santri. Setelah dilakukan, ternyata hasilnya sama saja, dalam arti sama-sama terjebak dalam tipu daya setan Jin, tidak mendapatkan ilmu laduni malah jadi KIKUN, Kiai Dukun. Bahkan malah ada yang menjadi gila, gila hormat, gila kedudukan, sehingga di mana-mana hidupnya hanya menimbulkan perpecahan sesama manusia.

Oleh karena itu, tawasul secara ruhaniah adalah solusi yang sangat efektif. Menjadi sarana latihan yang multi guna agar perjalanan para salik mendapatkan penjagaan dari segala tipudaya setan Jin yang menghadang. Mereka berhasil lolos dan selamat dari segala ujian serta mampu menyelesaikan segala tahapan dan tanjakan sehingga mendapatkan hasil yang diharapkan. Insya Allah.







Sumber: http://www.facebook.com/notes/muhammad-luthfi-ghozali/ilmu-laduni-bukan-sulapan/205479240358

ILMU LADUNI, Buah Meditasi Islami



Dengan mujahadah dan dzikir yang dilakukan sebagai pelaksanaan thoriqoh secara istiqomah, maka akal(rasio) akan mendapatkan pencerahan dari hati dengan “nur hidayah Allah”. Merupakan buah dzikir yang dijalani, maka aktifitas akal—yang terkadang suka kebablasan—dapat dikendalikan dengan kekuatan aqidah (spiritual) yang benar. Manusia yang secara qudroti memang cenderung senang berdebat dan bertengkar dengan sesama teman: “Dan mereka berkata: "Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)? Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.(QS.az-Zuhruf/58), dengan pencerahan hati itu kebiasaan buruk yang bisa menimbulkan ekses buruk itu sedikit dapat diredam.

Namun itu bisa terjadi, manakala disaat melaksanakan “dzikir istiqomah” itu, seperti orang ber-meditasi, para salik mampu mengosongkan irodah dan qudroh manusiawi yang hadits(baru) untuk dilebur di dalam samudera irodah dan qudroh Allah Ta’ala yang azaliah. Maksudnya, segala obsesi, rencana, dan kemampuan diri untuk mengatur jalan kehidupan, baik urusan dunia maupun akhirat, saat itu, dengan kekuatan dzikir yang dilakukan, sementara dilepaskan dari bilik akal, sedangkan hati dihadapkan dan diserahkan kepada perancanaan Allah yang azali dan kemampuan-Nya yang Maha Kuasa untuk memberikan solusi dan pertolongan. Lafat dzikir itu dilafatkan berulangkali, baik sendiri maupun berjama’ah dengan suara pelan maupun keras untuk ditusukkan dalam hamparan hati sampai benar-benar meresap melalui urat nadi. Bukannya Allah tuli sehingga nama-Nya harus disebut dengan suara keras berulangkali, namun hati kita ini yang budeg dan tuli sehingga tidak mampu mendengar dzikir-Nya meski Allah telah menjawab dzikir kita berulangkali.

Ketika dengan pelaksanaan “meditasi islami” tersebut rasio berhasil dikosongkan dari kemampuan manusiawi, terlebih apabila pengosongan itu adalah buah syukur yang diekspresikan di dalam bacaan dzikir yang diulang berkali-kali, maka diharapkan, yang masuk setelah pengosongan itu adalah rahasia bacaan dzikir yang diulang-ulang. Rahasia yang terkandung di dalam makna kalimat “La Ilaaha illallah” (tidak ada Tuhan selain Allah).

Jika dzikir meditasi Islami itu mampu dilakukan dengan benar dan baik, maka yang masuk setelah terjadinya pengosongan itu adalah “ilham” dan “inspirasi spontan” di dalam hati yang datangnya dari urusan Ilahi Rabby yang mampu memberikan solusi bagi setiap kesulitan yang dihadapi. Itulah rahasia Nubuwah—yang dahulu diberikan kepada para Nabi, kemudian menjadi Walayah—ketika diwariskan kepada hamba-hamba Allah yang sholeh, sejatinya adalah wahyu yang disampaikan kepada seorang hamba yang dikehendaki: “Dan tidak ada bagi seorang manusia-pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu”. QS. 42/51. Inilah sumber rahasia Ilmu Laduni yang sedang kita cari.

Ketika ilmu laduni sebagai rahasia Nubuwah itu telah meresap di dalam qolbu (spiritual), maka seperti air anak sungai yang mengalir menuju muara. Ketika air dzikir keluar dari muara dan melebur di dalam samudera, maka yang asalnya kotor seketika menjadi bersih, yang najis menjadi suci. Seperti itulah pencerahan akal yang didapatkan dari rahasia dzikir hati, maka rongga dada yang asalnya sempit menjadi lapang dan hati yang asalnya susah menjadi gembira: “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.QS.ar-Ra’d/28.

Dengan itu, maka menjadikan manusia tidak sekedar pintar saja, namun juga cerdas dan siap pakai. Meski tanpa sebab yang kasat mata, orang ahli dzikir itu langsung menjadi siap menjawab segala pertanyaan dan teka-teki yang ditampilkan kehidupan dengan benar dan “rahmatan lil alamin”. Hal itu bisa terjadi, karena akal senantiasa mendapatkan pencerahan dari hati. Itulah hasil perpaduan antara dzikir dan fikir. Karena demikian pentingnya pelaksanaan dzikir ini, maka Allah Ta’ala telah membuat persaksian dengan firman-Nya:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. QS.Ali Imran/191.





Sumber: http://www.facebook.com/notes/muhammad-luthfi-ghozali/ilmu-laduni-buah-meditasi-islami/204950270358

ILMU LADUNI: adalah Buah Takwallah (part 2)




Siafat sombong itu akan menutup pintu iman dalam hati. Konkritnya, saat di depan mata terpampang jalan kebaikan, mereka selalu menghindarinya dan sebaliknya ketika ada jalan kejelekan, mereka malah segera menjalaninya. Jadi, sombong itulah yang menjadi penyebab utama keingkaran dan kelalaian hatinya, hingga akhirnya orang yang sombong itu tidak dapat memetik buah dari amal yang dikerjakan, yakni berupa “ilmu laduni” yang diharapkan dapat menerangi hati. Lebih jelas ditegaskan di dalam ayat yang lain Allah berfirman:

وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآَخِرَةِ حِجَابًا مَسْتُورًا (45) وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي آَذَانِهِمْ وَقْرًا وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْآَنِ وَحْدَهُ وَلَّوْا عَلَى أَدْبَارِهِمْ نُفُورًا

"Dan apabila kamu membaca Al-Qur'an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan hari akherat suatu dinding yang tertutup * Dan Kami adakan tutupan diatas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya, Dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja di dalam Al-Qur'an niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya”. (QS. al-Isra’(17); 45-46)

Keingkaran manusia akan hari akhirat, menjadi penyebab terhalangnya orang tersebut untuk menerima rahasia ilmu laduni dan menjadikannya benci kepada kebaikan serta cenderung kepada perbuatan maksiat. Ketika hati manusia ingkar kepada apa yang dijanjikan Allah di hari akhirat, maka berarti orientasi hidupnya hanya cenderung mengikuti konsep duniawi saja. Konsep matematika di mana satu ditambah satu hasilnya tidak mungkin menjadi sepuluh. Padahal urusan ilmu laduni tidaklah demikian, boleh jadi satu diambil satu malah menjadi sepuluh, karena yang satu itu adalah sebuah pengorbanan yang harus dijalankan. Oleh karena ilmu laduni adalah pahala yang dijanjikan, maka untuk mendapatkan pahala itu, jalannya haruslah dengan sebuah pengorbanan. Yaitu pengabdian yang hakiki semata-mata melaksanakan kewajiban seorang hamba untuk mengabdi kepada Tuhannya.

Demikian itulah gambaran ilmu laduni, maka setiap orang boleh berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Tentunya dengan melaksanakan pengabdian yang hakiki kepada Tuhannya. Namun demikian, meski dengan usaha yang bersungguh-sungguh, tidak seorangpun bisa mendapat jaminan untuk mendapatkan ilmu tersebut. Sebab, di jalanan yang akan dilalui itu banyak jebakan dan ranjau yang mengitari. Seperti nabi Musa as, meski sudah melaksanakan perjalanan berat dan panjang dan bahkan sudah bertemu dengan orang yang akan mewariskan ilmu laduni tersebut kepadanya, yaitu nabi Khidhir as, hanya karena sedikit kesalahan saja maka nabi Musa as tidak berhasil mendapatkan ilmu yang diharapkan itu.

Nabi Musa as dan Nabi Khidhir as yang dikisahkan di dalam kisah perjalanan itu, boleh jadi sebagai personal dan boleh jadi juga sebagai karakter. Yaitu karakter Musa dan karakter Khidir. Kalau mereka berdua hanya sebagai personal, barangkali kisah itu sudah tidak ada manfaatnya lagi bagi orang-orang yang membacanya, kecuali hanya sekedar membaca sejarah kehidupan para Nabi terdahulu.

Oleh karena itu, di samping kisah perjalanan tersebut disimak sebagai gambaran personal, hendaknya juga seorang salik yang berharap sumber ilmu laduni menyimaknya juga sebagai perjalanan dua karakter. Artinya karakter Musa dan karakter Khidhir yang harus mampu dihidupkan di dalam jiwanya sendiri, dengan demikian itu akhirnya menjadikan dirinya mampu menghadapi setiap tantangan yang sedang menghadang di depan mata.

Karakter-karakter itu, manakala telah mampu diterapkan oleh seorang salik di dalam perilaku keseharian, maka secara otomatis di akhir perjalanannya, karakter-karakter itu akan menjiwai pelakunya. Demikian itulah buah amal (latihan), maka siapapun dapat melakukannya, asal ada kemauan dan jalannya benar serta terbimbing oleh ahlinya. Namun demikian, oleh karena ilmu laduni adalah ilmu warisan, maka hasil akhirnya bergantung kepada orang yang memberi, bukan orang yang meminta. Di situ ada rahasia besar yang harus terkuakkan. Oleh karena itu, di samping cara usaha yang benar, kebersihan hati dalam berusaha adalah syarat utama untuk bisa mendapatkannya.

Di dalam kitab at-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an, Imam Ali ash-Shobuni ra mengutip pendapat beberapa Ulama’ tentang ilmu laduni ini, berkaitan dengan ihwal kebersihan hati, yang menjadi syarat mutlak untuk mendapatkan ilmu laduni. Melalui syairnya yang terkenal, al-Imam asy-Syafi'i ra mengisyaratkan hal itu dengan indahnya:

“Aku mengadu kepada Al-Waqi’
perihal jeleknya hapalanku, maka dia menunjuki aku agar aku meninggalkan perbuatan maksiat.
Karena sesungguhnya ilmu itu adalah Nur. Nur Allah tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat”.

Al-Imam as-Suyuti ra berkata: “Banyak orang mengira, bahwa ilmu laduni itu sangat sulit untuk didapat. Mereka berkata; ilmu laduni itu berada di luar jangkauan kemampuan manusia. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Untuk mendapatkan ilmu laduni itu, caranya hanya dengan jalan membangun sebab-sebab yang dapat menghasilkan akibat. Adapun sebab-sebab itu adalah amal dan zuhud.” Kemudian beliau meneruskan: “Ilmu-ilmu Al-Qur'an dan apa saja yang memancar darinya adalah sangat luas sekali. Bagaikan samudera yang tidak bertepi. Adapun ilmu laduni ini adalah alat yang mutlak bagi seseorang untuk menafsirkan ayat-ayatnya”.

Oleh karena itu, orang dilarang menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an kecuali bagi mereka yang terlebih dahulu telah mendapatkan ilmu laduni ini. Barangsiapa menafsirkan al-Qur'an tanpa alat ilmu laduni ini, boleh jadi mereka hanya akan menafsirkanya dengan akal saja (bir ro'yi) yang dilarang oleh agama. Sebab, pemahaman ilmu al-Qur'an yang hakiki adalah sesuatu yang sifatnya Qodim dan sumber ilmu laduni juga dari yang Qodim itu. Oleh karena itu, orang tidak akan dapat menyentuh sesuatu yang Qodim kecuali dengan alat dari yang Qodim pula.

Para Ulama' menyebut ini sebagai syarat mutlak yang harus dipenuhi bagi orang yang akan menafsirkan al-Qur'an, supaya dia berhasil sampai pada tingkat penafsiran terdalam dan tertinggi sesuai dengan kemampuannya dalam memahami, baik di saat mereka sedang mendengarkan maupun membaca ayat-ayatnya. Sungguh Allah telah memudahkannya dan telah memerintahkan pula untuk mengadakan penelitian, sebagaimana firman-Nya:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآَنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran “. (QS. al-Qomar (54); 17).

Dan juga firman Allah:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al- Qur'an, atau diatas hati-hati ada kuncinya". (QS. Muhammad (47); 24)

(Ali ash-Shobuni; At-Tibyan fi ‘Ulumil Qur'an, 159)



Sumber: http://www.facebook.com/notes/muhammad-luthfi-ghozali/ilmu-laduni-adalah-buah-takwallah-part-2/204271635358

ILMU LADUNI adalah Buah Takwallah (part 1)



Allah berfirman:

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
"Dan bertakwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarimu. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS.al-Baqoroh (2); 282)

Kehati-hatian (ihtiyat) seorang hamba dalam berbuat dan menentukan sikap serta pilihan jalan hidup, dihadapkan kepada Dzat yang ditakuti—yang setiap saat dapat melihat dan mengetahui—serta mengharapkan untuk mendapatkan petunjuk dan hidayah dari-Nya, akan membuka sumber inspirasi dan ilham yang tiada henti, namun manakala rasa takut itu hanya disandarkan kepada yang memberi kehidupan, hanya kepada Allah Sang Pemberi Nur kehidupan alam. Itu bisa terjadi, karena interaksi dua dzikir telah terkondisikan, sebagai sunnah dan pelaksanaan janji yang tidak teringkari. "Maka ingatlah kamu kepadaKu, niscaya Aku ingat pula kepadamu ". (QS. 2; 152).

Semisal orang ingin berbuat maksiat, karena nafsunya mengajak dan kesempatan sedang terbuka di depan mata, namun hatinya takut kepada Allah. Takut mendapat siksa baik di dunia maupun di akhirat atau takut dijauhkan dari ridho-Nya sehingga kemanisan munajat jadi terhambat. Keadaan seperti itu akan menimbulkan proses di dalam dada, hawa panas dan hawa dingin bergejolak, itulah yang dinamakan JIHAD AKBAR, jihat melawan nafsu yang ada di lambungnya sendiri. Ketika perang besar itu sampai pada klimaknya, maka terjadi proses pembakaran hijab manusiawi. Jika orang beriman itu mampu mengalahkan kehendak nafsunya berarti sama saja berhasil membakar lapisan hijab yang ada di rongga dadanya sehingga matahatinya menjadi CEMERLAN dan TEMBUS PANDANG. Ketika potensi NEGATIF itu mampu di Non Aktifkan maka segera saja secara otomatis potensi POSITIF menjadi Aktif

Sistem BUKA TUTUP itu terjadi akibat adanya “interaksi nuriyah”, pertemuan dua nur yang dipancarkan dari dua arah yang berbeda, yang satu mencari dan satu-Nya memberi. Kejadian ini ibarat orang menjemur diri di terik sinar matahari pagi, maka kehangatan sinar mentari seketika meresap di dalam seluruh tubuh melalui urat nadi, demikian pula proses masuknya ilmu laduni. Ilmu Warisan itu akan didatangkan untuk melapangkan rongga dada dan menerangi matahati, didatangkan sebagai akibat yang baik, manakala seorang salik mampu membangun sebab-sebabnya dengan baik pula.

Terkadang awal datangnya ilmu laduni terbit dari hati yang bingung karena dirundung duka. Ketika jalan penyelesaian akhir yang harus dilewati, pintu dan jendelanya telah tertutup rapat. Antara kecewa dan putus asa karena tidak mungkin makhluk dapat menolong diri, hati seorang hamba kemudian bersandar kepada Tuhannya. Untuk mencari pertolongan, meleburkan segala asa dan cita, melahirkan segala rindu dan cinta, menyatukan antara harapan dan pasrah. Ketika cinta telah menyatu dengan cinta dan rindu bertemu dengan yang ditunggu, maka dengan izin-Nya pintu hati yang semula tertutup menjadi terbuka.

Sumber “Ilmu laduni” adalah proses terbukanya pintu dan jendela itu, ketika yang asalnya takut, kecewa, dan putus asa, kemudian menjelma menjadi gembira. Manakala peristiwa itu dirunut ke belakang oleh para pemerhati untuk dijadikan bahan kajian guna memperdalam pemahaman hati dengan menguntai mutiara-mutiara hikmah yang berserakan, memadukan ayat yang tersurat dengan yang tersirat dalam pelaksanaan ubudiyah yang istiqomah, maka di situlah letak sumber “ilmu laduni” itu akan menampakkan diri. Sumber ilmu laduni yang berupa sarana penggodokan jiwa dan “kawah candradimuka” untuk memunculkan konsep-konsep kehidupan dan resep keteladanan hidup yang sesungguhnya sudah tersedia di dalam dada, proses tersebut dibutuhkan hanya untuk menekan tombolnya. Sebab, tanpa tantangan dan kesulitan, maka dalil dan argumentasi masih penuh dengan keraguan sehingga ilmu pengetahuan yang dimiliki hanya melayang di angan-angan,.

Meski cara mendapatkan sumber “ilmu laduni” itu merupakan sunnah (sistem) yang dimudahkan. Namun, seorang hamba tidak akan mampu mendapatkannya manakala di dalam hatinya masih terdapat sifat-sifat basyariyah yang merugikan, seperti sifat bid'ah, sombong, riya’, cinta dunia, dan selalu condong berbuat kemaksiatan. Seperti langit ketika diselimuti awan dan mendung, meski matahari sudah tinggi, kehangatannya tetap saja tertahankan. Seperti itulah gambaran proses datangnya ilmu laduni, maka Allah menegaskan dengan firman-Nya:

سَأَصْرِفُ عَنْ آَيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آَيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا وَكَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ

"Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi dengan tanpa alasan yang benar dari (memahami) ayat-ayat-Ku. Jika mereka melihat tiap-tiap ayat-Ku mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya. tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan mereka terus menempuhnya, yang demikian itu dikarenakan mereka telah mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya”. QS. al-A’raaf (7); 146.

Sombong artinya; orang merasa punya harga dan orang lain juga punya harga, tapi orang yang sombong itu merasa harga dirinya lebih tinggi daripada harga diri orang lain. Jika hal tersebut diaktualisasikan baik dalam ucapan ataupun perbuatan, maka namanya bukan sombong lagi tapi takabbur.

Allah menutup sumber ilmu laduni kepada hati yang sombong, sehingga sedikitpun tidak dapat merasakan pancaran sinarnya. Karena kesombongan itulah yang telah mencemari karakter manusiawi dan akan menghalangi dirinya sendiri untuk dapat memahami kandungan ayat-ayat Allah, baik terhadap ayat yang tersurat maupun yang tersirat. Jika terhadap orang sombong saja Ilmu Laduni itu tidak mau menghampiri hatinya terlebih lagi kepada orang yang suka pamer kesombonan didepan temannya sendiri. (bersambung)





Sumber: http://www.facebook.com/notes/muhammad-luthfi-ghozali/ilmu-laduni-adalah-buah-takwallah-part-1/203431140358

Ilmu Laduni adalah Ilmu Warisan (part 3)




4). Menunjukkan kemuliaan pemiliknya.

Lafad الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَ "Alladziinash thofainaa min ‘ibaadinan", (hamba-hamba Kami yang Kami pilih) menunjukkan bahwa hamba tersebut adalah manusia yang dimuliakan Allah Ta’ala dari tiga aspek :

a) Hamba pilihan. Terpilih dari golongan yang mulia maka berarti yang lebih mulia diantara yang dimuliakan.
b) Karena yang memilih adalah Allah Ta’ala yang Maha Mulia, maka pilihan itu pasti merupakan pilihan yang paling mulia.
c) Lafad hamba disandarkan kepada Kami, Allah. Itu menunjukkan bahwa hamba yang dipilih itu adalah hamba yang dimuliakan. Sebab, semua yang disandarkan kepada Allah berarti yang dimuliakan Allah. Seperti contoh lafad Rasulullah dan lafad Baitullah.

Oleh karena Allah adalah Dzat Yang Maha Mulia, maka siapapun yang dekat dengan-Nya berarti akan menjadi mulia. Bahkan seorang tukang pijat bisa mendapat kedudukan lebih mulia dibandingkan kedudukan seorang Menteri, karena ia tukang pijatnya Presiden. Namun tentunya pandangan kemuliaan itu hanya khusus di mata orang-orang yang mempunyai kepentingan besar kepada Presiden.

Oleh karena itu, kalau ada orang yang tidak memandang mulia kepada para Wali Allah, kepada orang-orang yang dicintai dan didekatkan di sisi Allah, sehingga mereka itu tidak mau mengadakan tabarrukan dengan bertawasul kepada orang yang mulia itu, barangkali karena memang orang tersebut tidak mempunyai kepentingan kepada Allah. Allah SWT. menegaskan hal yang demikian itu dengan firman-Nya di dalam hadits qudsi :

مَنْ عَادَ لِى وَلِيًّا فَقَدْ أَذِنْتُهُ بِالْحَرْبِ .
"Siapa yang mengingkari (menyakiti) wali-wali-Ku maka sungguh akan Aku kumandangkan perang dengannya".

Walhasil, yang menunjukkan hamba tersebut dipilih dan dimuliakan adalah karena pengabdiannya sebagai “hamba Allah” telah mendapatkan pengakuan dari-Nya sehingga mereka disebut sebagai “Hamba Kami” oleh Allah Ta’ala.

5). Buah Ibadah yang mampu Membangkitkan semangat Pengabdian.

Lafad فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ(Faminhum dhoolimun linafsih), yang dimaksud dengan “dholim linafsihi” didalam ayat ini, bukanlah orang yang menganiaya dirinya sendiri dengan perbuatan maksiat sebagaimana yang dimaksud dengan ayat: رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا "Robbanaa Dholamnaa Anfusanaa ( Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami ) QS. 7/23, atau perbuatan syirik sebagaimana yang dimaksud dengan ayat: إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ "Innasy Syirka ladhulmun ‘adhiim" (Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar) QS. 31/13.

Akan tetapi, mereka itu adalah orang yang menganiaya atau menyiksa diri sendiri dengan perbuatan taat atau kebajikan untuk semata-mata mengabdi kepada Allah. Maksudnya, disaat orang lain sedang tidur ia sangup bangun malam untuk bermujahadah di jalan Allah, disaat orang lain kenyang dia sanggup lapar berpuasa, disaat orang lain bersenang-senang dengan dunia, ia susah-susah menyendiri mencari akhirat. Alasan atau dalil yang menunjukkan hal itu ialah karena ayat ini ditutup dengan : ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ "Dzaalika Huwal Fadhlul kabiir" (Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar). Kalau dikatakan fadhol (karunia) apalagi karunia yang amat besar, maka jelas itu adalah bukan dari jenis perbuatan yang mengandung kemaksiatan dan dosa.

Maksudnya; Ketika ilmu yang diwariskan itu telah bersemayam didalam dada seorang hamba, ilmu itu akan menimbulkan reaksi kuat, sehingga terjadi proses pemahaman dalam hati secara bertahap yang mampu menimbulkan semangat kuat bagi pemiliknya untuk melaksanakan pengabdian hakiki kepada Allah SWT. dengan timbulnya kemampuan untuk menyiksa diri sendiri dalam melaksanakan mujahadah dan riyadhoh karena semata-mata mengharapkan ridho-Nya.

Kesimpulan :
Ilmu laduni adalah ilmu yang diwariskan dari pemilik sebelumnya, yakni uru Mursyid yang suci lagi mulia, bukan ilmu yang didapatkan dari hasil membaca atau mendengar. Ilmu tersebut merupakan bagian dari pemahaman yang terkandung didalam Al-Qur'-an al-Karim, bukan pengalaman spiritual/ghaib yang sumbernya tidak jelas. Ilmu laduni itu hanya diwariskan kepada orang yang dipilih dari orang-orang yang telah benar pengabdiannya kepada Allah Ta’ala, sehingga kebenarannya mendapatkan pengakuan dari-Nya. Barangsiapa telah mendapatkan warisan ilmu laduni, berarti mereka akan mendapat kemuliaan di sisi-Nya.


Sumber : http://www.facebook.com/notes/muhammad-luthfi-ghozali/ilmu-laduni-adalah-ilmu-warisan-part-3/202530135358