Rabu, 11 November 2009

MENCARI ILMU LADUNI (part 2)




إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (4) أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ (5) رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan * Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah *Urusan dari sisi Kami, sesungguhnya Kami adalah yang mengutus * Sebagai rahmat dari Tuhanmu, Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. QS. 44/3-6)

Firman Allah SWT. : فيها يفرق كل أمر حكيم Pada malam itu dibedakan segala urusan yang penuh hikmah”.(44/4). Artinya; Lafad “Yufroqu” dari kata Faroqo artinya membedakan. Maksudnya : Pada malam itu Allah SWT menurunkan “Furqon” di dalam hati hamba-Nya sehingga orang tersebut mampu membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mana yang halal dan mana yang haram, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus dikerjakan dan mana yang tidak. Al-Furqon itu tidak hanya yang di ucapkan di bibir saja, namun juga menjadi karakter dan kebiasaan yang mendasari perilaku keseharian.

Itu disebabkan, ketika “rahmat ilahiyat” telah dikucurkan dan kerberkahan dibentangkan serta ilmu diwariskan, maka hati yang semula kotor menjadi bersih dan jernih, yang asalnya sombong menjadi merasa hina, yang asalnya keras menjadi lunak, yang asalnya mati menjadi hidup. Bagaikan tanah baru dibajak, maka ketika bibit ditanam segera tumbuh menjadi pohon yang sempurna.

Ketika secara global “ilmu laduni” telah disematkan di dalam hati, maka menjadi bagaikan bibit yang ditanam di tanah yang subur, lalu sang petani harus menindaklanjuti dengan perawatan tahap demi tahap sampai tanaman itu tumbuh dan berbuah. Seperti itu pula Ilmu Laduni, ketika saatnya rincian dari yang global itu dibacakan, yakni melalui ayat-ayat yang tersirat, antara kejadian demi kejadian dalam romantika dan realita, maka bibit itu akan tumbuh berkembang menjadi tanaman yang kuat dan subur sehingga buahnya setiap saat dapat dipetik. Seperti itu pula keadaan Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan secara global di Baitul Izzah, kemudian secara rinci disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Baginda Rasul saw selama dua puluh tiga tahun mengikuti kejadian demi kejadian.

Adalah ayat-ayat yang tersurat dan ayat-ayat yang tersirat ketika dipadukan secara komulatif dalam pelaksanaan dzikir dan pikir, akan melahirkan ilmu lagi secara intuitif, yaitu ilmu yang memancar dari bisikan kalbu atau ilham kepada akal secara spontan dan langsung dengan tanpa perantaraan melihat maupun mendengar. Yang demikian itu, semata-mata karena di dalam hati yang bersih itu Allah Ta’ala mendatangkan hidayah-Nya.

Allah menegaskan hal tersebut dengan ayat yang lain:

نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ (3) مِنْ قَبْلُ هُدًى لِلنَّاسِ وَأَنْزَلَ الْفُرْقَانَ إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآَيَاتِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ

“Dia menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya. Membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil * Sebelum (Al- Qur'an), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al Furqan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa).” QS.Ali Imran. 3/3-4.

Ketika orang-orang yang hatinya ingkar bertanya: “Mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan lansung sekali turun saja?”, Allah Ta’ala menjawab dengan firman-Nya:

كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا

“Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya, dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)”. QS.al-Furqon.25/32.

Bukannya Allah tidak kuasa menguatkan hati hamba-Nya dengan cara yang lain, namun dengan ayat ini telah ditegaskan, bahwa jalan dan proses yang dipilih dan dikehendaki-Nya hanya dengan cara itu, sebagai sunnah-Nya (sunnatullah) yang tidak akan dirubah lagi untuk selama-lamanya, maka seorang hamba yang ingin mendapat kekuatan hati wajib mengikuti sunnah tersebut. Bahkan untuk kepentingan yang lebih tinggi dari ini, maka Rasulullah Muhammad SAW dadanya dibedah sampai 4X.

Firman Allah SWT. : إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (الدخان6) (Sesungguhnya Dialah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui). Artinya: Allah Maha Mendengar munajat hamba-Nya dan Maha Mengetahui isi munajatnya. Allah Maha Mendengar permintaan hamba-Nya dan Maha Mengetahui kapan saat yang tepat permintaan itu akan dikabulkan-Nya. Allah Maha Mendengar do’a-do’a hamba-Nya dan dan Allah Maha Mengetahui doa yang mana yang pantas untuk dipenuhi bagi hamba-Nya.(bersambung)



Sumber: http://www.facebook.com/notes/muhammad-luthfi-ghozali/mencari-ilmu-laduni-part-2/207834695358

MENCARI ILMU LADUNI (part 1)




Awal mula masuknya ilmu laduni di dalam hati seorang SALIK tidak diturunkan secara utuh dan siap pakai melainkan berangsur-angsur sesuai kebutuhan. Tidak seperti yang diduga para pencarinya yang mencari ilmu laduni/kesakten lewat tirakat-tirakat khusus, atau "tapa brata" yang dilakukan di gua-gua, di puncak gunung, di dalam hutan ataupun di kuburan-kuburan keramat, mereka membayangkan bisa memperoleh KESAKTIAN secara INSTAN.

Proses masuknya ilmu laduni itu awalnya secara global, lalu selanjutnya secara perincian. Seperti petani menanam, supaya pekerjaan tanam itu membuahkan hasil, maka yang ditanam adalah bibitnya, bukan tumbuhan yang bisa langsung berbuah. Lalu berproses sehingga bibit itu tumbuh menjadi tumbuhan dan kemudian berbuah. Artinya, yang dimaksud “global” adalah bibit yang disematkan dalam hati, sedangkan yang dimaksud “perincian” ibarat daun dan ranting tumbuhan yang mulai tumbuh. Ketika tumbuhan itu berbuah, maka buah itulah yang dimaksud dengan “sumber ilmu laduni”.

Oleh karenannya, ketika orang mencari “ilmu laduni” itu dengan jalan tirakat-tirakat khusus, dan apabila ternyata pencarian itu berhasil mendapatkan tahap pencapaian, terlebih apabila pencapaian itu sifatnya instan, maka bisa jadi yang masuk dalam hati tersebut bukan sumber ilmu laduni melainkan kekuatan(sulthon) setan Jin yang menipu. Jika demikian halnya, maka bisa jadi itu merupakan “istidroj” (kemanjaan) belaka yang bisa menjadi penyebab hancurnya manusia di dunia maupun di akhirat.

Proses masuknya ilmu laduni itu berjalan dengan hukum sebab akibat. Manakala sebab-sebab sudah mencukupi untuk adanya suatu ketetapan, maka akibatnya akan didatangkan sebagai janji Allah Ta’ala yang tidak akan pernah teringkari. Adalah sunnatullah yang tidak akan ada perubahan untuk selama-lamanya, maka siapa pun berpotensi mendapatkan ilmu laduni itu asal mampu membangun sebab-sebab dengan benar.

Manakala hati seorang hamba mampu mencapai batas-batas untuk terpenuhinya sebuah persyaratan, hal itu didapatkan sebagai buah mujahadah dan riyadhoh yang dilakukan, maka saat itu juga “sumber ilmu laduni” akan diturunkan di dalam hatinya, sebagai akibat yang baik. Namun demikian, ilmu laduni itu hanya diturunkan “sebagai rahmat dari Tuhanmu”, QS.ad-Dukhon.44/6. Artinya, ilmu laduni itu hanya diturunkan di dalam hati seorang hamba yang terlebih dahulu telah mampu memancarkan rahmat Allah Ta’ala kepada alam sekelilingnya, yaitu hati yang “rahmatan lil alamin”.

Proses pertama ilmu laduni itu diturunkan di dalam hati secara global. Sebagaimana “Al-Qur’an al-Karim” juga diturunkan petama kali dari Lauh Mahfud ke langit bumi di Baitul Izzah. Demikian yang dinyatakan Allah SWT. dengan firman-Nya :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (4) أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ (5) رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan * Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah *Urusan dari sisi Kami, sesungguhnya Kami adalah yang mengutus * Sebagai rahmat dari Tuhanmu, Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. QS. 44/3-6)

Sebagian Ulama berpendapat; yang dimaksud ليلة مباركة “Lailatin Mubaarokah” (malam yang penuh dengan berkah) adalah malam lailatul qodar. Juga ada yang mengatakan malam nishfu sya’ban, juga ada yang mengatakan malam baro’ah(malam kebebasan atau pengampunan dari segala dosa).

Maksudnya, oleh karena mujahadah dan dzikir yang dilakukan seorang SALIK telah mendapat penerimaan di sisi Allah Ta’ala, maka pada malam baro’ah itu sang pengembara itu akan mendapat kebebasan dari dosa-dosanya sehingga hatinya menjadi bersih dan suci serta telah memenuhi syarat untuk diturunkan potensi memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara global. Keadaan itu seperti lampu ketika dinyalakan maka ruangan yang asalnya gelap menjadi terang benderang. Demikian pula ruangan dalam dada orang tersebut, yang asalnya gelap gulita menjadi terang benderang sehingga matahati yang asalnya buta dapat melihat. Dalam istilah lain, ketika dengan LAKUnya manusia telah berhasil me-Non Aktifkan potensi NEGATIFnya, maka secara otomatif potensi POSITIFnya akan AKTIF, ini adalah sunnatullah yg tidak ada perubahan lagi selamanya.

Qotadah dan Ibnu Zaid ra. berkata: Allah SWT. menurunkan Al-Qur’an secara keseluruhan di malam lailatul qodar dari Ummul kitab ke Baitul izzah di Langit bumi, kemudian Allah menurunkan kepada Nabi-Nya saw. di waktu malam dan siang hari selama dua puluh tiga tahun.
*Tafsir Qurthubi ayat 3. surat ad-Dukhon*.

Dikatakan malam penuh berkah, (Lailatul Mubaarokah) karena pada malam itu, Allah menurunkan berkah dan kebaikan serta pahala yang besar kepada hamba-Nya. “sebagai rahmat dari Tuhanmu”. Secara khusus kandungan ayat tersebut (QS. 44/3-6) berkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada diri Rasul Muhammad saw, akan tetapi secara umum maknanya bisa dijadikan bahan kajian yang dapat digali sedalam-dalamnya, namun tentunya dengan mengikuti hidayah Allah. Sebab, Al-Qur’an al-Karim tidak hanya diturunkan untuk pribadi Rasul melainkan disampaikan kepada umat manusia sebagai “rahmatan lil ‘alamin”.

Jadi, dalam mengartikan malam “lailatul mubaarokah” tersebut tidak seharusnya secara tekstual saja seperti “malam lailatul qodar” dan “malam nishfu sya’ban”, namun juga secara kontekstual dengan mengambil makna secara filosofis. Oleh karena itu, yang dimaksud “lailatul mubarokah” itu boleh jadi dapat dicapai oleh kaum muslimin secara umum yang telah melaksanakan puasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan seperti “lailatul qodar di bulan Ramadhan” dan juga boleh jadi secara khusus di dalam hati seorang hamba yang telah merampungkan pensucian hatinya, sehingga malam itu seorang hamba mendapatkan “lailatul qodar di luar Ramadhan”. (bersambung)



Sumber: http://www.facebook.com/notes/muhammad-luthfi-ghozali/mencari-ilmu-laduni-part-1/207117770358

ILMU LADUNI, Bukan Sulapan


Al-Kisah, konon suatu saat ada seorang anak kecil katanya ketemu nabi Khidhir sa di tengah jembatan dekat rumahnya jalan menuju arah pasar. Setelah itu, anak tersebut mendadak pandai berpidato—tidak sebagaimana lazimnya anak pada usianya (usia belasan tahun), sehingga ia menjadi terkenal, dianggap keramat sehingga diundang ceramah dan dihormati di mana-mana. Layaknya seperti orang kesurupan Jin, anak itu berpidato dengan demikian ahlinya. Kata orang, ada roh suci yang memasuki jasadnya, sehingga kemudian anak itu menjadi kaya raya karena dia juga ternyata dapat mengobati orang sakit.

Contoh kejadian seperti ini, kalau tidak dicermati dengan benar—tentunya dengan penguasaan ilmu khusus tentang dunia Jin,—maka banyak orang menjadi korban. Karena sebentar kemudian anak itu pulih sebagaimana aslinya dengan tanpa membekaskan kemanfaatan untuk dirinya, dalam arti sebagaimana tujuan diturunkannya ilmu laduni. Fenomena seperti ini boleh jadi hanya merupakan tipu muslihat setan Jin untuk menciptakan sumber fitnah di masyarakat. Kelebihan singkat tersebut sebagai istidroj yang berangsur-angsur hilang sama sekali. Yang tertinggal kemudian hanya fenomena dan teka teki besar yang tidak terjawab. Lalu membentuk opini atau pola pikir yang salah di tengah masyarakat—tentang ilmu laduni, tentang nabi Khidhir—yang dapat menyesatkan banyak orang. Yakni ketika tapak tilas perjalanan anak kepanjingan Jin itu ditindaklanjuti orang lain dengan pencarian-pencarian. Mencari nabi Khidhir dan ilmu laduni di tengah jembatan menuju pasar, maka akibatnya, banyak aqidah akan menjadi rusak.

Tanda-tanda orang mendapatkan ilmu laduni itu bukan hanya yang asalnya tidak bisa berbahasa Arab, atau bahasa Inggris misalnya, kemudian menjadi bisa atau tidak bisa membaca kitab kuning, menjadi bisa. Terlebih dikaitkan dengan kelebihan dan kesaktian (karomah), semisal orang dapat menghilang seperti demit atau dapat terbang seperti burung, atau dapat masuk bumi seperti caceng, atau jalan cepat seperti maling. Tanda-tanda ilmu laduni itu memang terkadang dapat terbaca dengan adanya berbagai kemudahan dan kelebihan pribadi, baik aspek ilmiah maupun amaliah, namun semua itu yang menjadikan seorang hamba dapat berma’rifat kepada Tuhannya.

Kalau toh ada tanda-tanda seperti tersebut di atas, namun hal itu bukan karena orang tersebut telah mendapatkan kesaktian “tiban”, akan tetapi karena penggodokan di dalam “kawah candradimuka” telah menghasilkan buah. Potensi kecerdasan akal yang selama ini ditutupi oleh hijab, ketika hijab itu sudah diangkat maka yang sudah cerdas menjadi semakin cerdas sehingga setiap yang sudah dibaca dan dihafalkan tidak bisa lupa lagi untuk selamanya. Allah telah menyatakan yang demikian itu dengan firman-Nya: “Kami akan membacakan (Al -Qur'an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa”.(QS. al-A’la; 6)

Artinya, kalau ada orang yang asalnya tidak dapat membaca kitab kuning, dalam waktu yang relatif singkat kemudian menjadi bisa, apabila kemampuan itu didapatkan dari sumber ilmu laduni, kemampuan itu bukannya datang dengan sendirinya tanpa sebab, melainkan dengan sebab-sebab dan proses yang harus dijalani. Namun, datangnya kemampuan itu dengan jalan dimudahkan, sebagai sunnah yang tidak akan ada perubahan lagi untuk selama-lamanya. Sebagaimana sunnah-sunnah yang sudah diperjalankan Allah kepada para pendahulunya, yaitu para Nabi, ash-Shiddiq, asy-Syuhada’, ash-Sholihin.

Kalau datangnya kemampuan-kemampuan itu tanpa sebab dan tanpa proses yang harus dijalani oleh manusia, itu berarti “sulapan” atau daya sihir, yang kadang-kadang datangnya dari setan Jin, sebagai “istidroj” atau kemanjaan sementara bagi manusia dan ketika masa tangguhnya habis, berangsur-angsur akan dihilangkan lagi untuk selamanya bersama kehancuran orang yang memilikinya.

Demikian pula, ketika pencarian-pencarian sumber ilmu laduni yang dilakukan oleh seorang salik terjebak dengan gambaran personal bukan karakter. Mencari nabi Khidhir secara personal, di pinggir-pingir laut di muka bumi misalnya, bukan secara karakter di dalam lautan ruhaniah yang ada dalam hati sanubari. Mencari pertemuan dua lautan yang dapat di lihat mata, bukan lautan secara i’tibari, maka yang muncul kemudian boleh jadi penampakan visual di dalam hayal yang dihasilkan dari sihir dan tipu daya setan Jin yang sedang kasmaran.

Kalau demikian, berarti perjalanan tersebut belum menemukan tujuan yang asli, walau untuk menyelesaikan tahapan menemukan yang asli itu terkadang orang harus melalui yang palsu. Oleh karena itu yang paling utama dalam setiap amal—yang dijalankan dengan tujuan khusus—adalah fungsi guru pembimbing ahlinya. Kalau tidak demikian, dapat dipastikan bahwa perjalanan salik tersebut akan menuju jalan yang sesat.

Terkadang ada orang mengajarkan cara mendapatkan ilmu laduni dengan mengamalkan bacaan-bacaan atau "wirid khusus" tanpa diajarkan dasar ilmunya. Membaca bacaan ini dan itu, dengan cara laku seperti ini, kemudian (katanya) orang yang mengamalkan cara seperti itu akan ketemu nabi Khidhir as. lalu mendapatkan ilmu laduni dari nabi Khidhir. Yang demikian itu banyak terjadi di kalalangan para Santri. Setelah dilakukan, ternyata hasilnya sama saja, dalam arti sama-sama terjebak dalam tipu daya setan Jin, tidak mendapatkan ilmu laduni malah jadi KIKUN, Kiai Dukun. Bahkan malah ada yang menjadi gila, gila hormat, gila kedudukan, sehingga di mana-mana hidupnya hanya menimbulkan perpecahan sesama manusia.

Oleh karena itu, tawasul secara ruhaniah adalah solusi yang sangat efektif. Menjadi sarana latihan yang multi guna agar perjalanan para salik mendapatkan penjagaan dari segala tipudaya setan Jin yang menghadang. Mereka berhasil lolos dan selamat dari segala ujian serta mampu menyelesaikan segala tahapan dan tanjakan sehingga mendapatkan hasil yang diharapkan. Insya Allah.







Sumber: http://www.facebook.com/notes/muhammad-luthfi-ghozali/ilmu-laduni-bukan-sulapan/205479240358

ILMU LADUNI, Buah Meditasi Islami



Dengan mujahadah dan dzikir yang dilakukan sebagai pelaksanaan thoriqoh secara istiqomah, maka akal(rasio) akan mendapatkan pencerahan dari hati dengan “nur hidayah Allah”. Merupakan buah dzikir yang dijalani, maka aktifitas akal—yang terkadang suka kebablasan—dapat dikendalikan dengan kekuatan aqidah (spiritual) yang benar. Manusia yang secara qudroti memang cenderung senang berdebat dan bertengkar dengan sesama teman: “Dan mereka berkata: "Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)? Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.(QS.az-Zuhruf/58), dengan pencerahan hati itu kebiasaan buruk yang bisa menimbulkan ekses buruk itu sedikit dapat diredam.

Namun itu bisa terjadi, manakala disaat melaksanakan “dzikir istiqomah” itu, seperti orang ber-meditasi, para salik mampu mengosongkan irodah dan qudroh manusiawi yang hadits(baru) untuk dilebur di dalam samudera irodah dan qudroh Allah Ta’ala yang azaliah. Maksudnya, segala obsesi, rencana, dan kemampuan diri untuk mengatur jalan kehidupan, baik urusan dunia maupun akhirat, saat itu, dengan kekuatan dzikir yang dilakukan, sementara dilepaskan dari bilik akal, sedangkan hati dihadapkan dan diserahkan kepada perancanaan Allah yang azali dan kemampuan-Nya yang Maha Kuasa untuk memberikan solusi dan pertolongan. Lafat dzikir itu dilafatkan berulangkali, baik sendiri maupun berjama’ah dengan suara pelan maupun keras untuk ditusukkan dalam hamparan hati sampai benar-benar meresap melalui urat nadi. Bukannya Allah tuli sehingga nama-Nya harus disebut dengan suara keras berulangkali, namun hati kita ini yang budeg dan tuli sehingga tidak mampu mendengar dzikir-Nya meski Allah telah menjawab dzikir kita berulangkali.

Ketika dengan pelaksanaan “meditasi islami” tersebut rasio berhasil dikosongkan dari kemampuan manusiawi, terlebih apabila pengosongan itu adalah buah syukur yang diekspresikan di dalam bacaan dzikir yang diulang berkali-kali, maka diharapkan, yang masuk setelah pengosongan itu adalah rahasia bacaan dzikir yang diulang-ulang. Rahasia yang terkandung di dalam makna kalimat “La Ilaaha illallah” (tidak ada Tuhan selain Allah).

Jika dzikir meditasi Islami itu mampu dilakukan dengan benar dan baik, maka yang masuk setelah terjadinya pengosongan itu adalah “ilham” dan “inspirasi spontan” di dalam hati yang datangnya dari urusan Ilahi Rabby yang mampu memberikan solusi bagi setiap kesulitan yang dihadapi. Itulah rahasia Nubuwah—yang dahulu diberikan kepada para Nabi, kemudian menjadi Walayah—ketika diwariskan kepada hamba-hamba Allah yang sholeh, sejatinya adalah wahyu yang disampaikan kepada seorang hamba yang dikehendaki: “Dan tidak ada bagi seorang manusia-pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu”. QS. 42/51. Inilah sumber rahasia Ilmu Laduni yang sedang kita cari.

Ketika ilmu laduni sebagai rahasia Nubuwah itu telah meresap di dalam qolbu (spiritual), maka seperti air anak sungai yang mengalir menuju muara. Ketika air dzikir keluar dari muara dan melebur di dalam samudera, maka yang asalnya kotor seketika menjadi bersih, yang najis menjadi suci. Seperti itulah pencerahan akal yang didapatkan dari rahasia dzikir hati, maka rongga dada yang asalnya sempit menjadi lapang dan hati yang asalnya susah menjadi gembira: “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.QS.ar-Ra’d/28.

Dengan itu, maka menjadikan manusia tidak sekedar pintar saja, namun juga cerdas dan siap pakai. Meski tanpa sebab yang kasat mata, orang ahli dzikir itu langsung menjadi siap menjawab segala pertanyaan dan teka-teki yang ditampilkan kehidupan dengan benar dan “rahmatan lil alamin”. Hal itu bisa terjadi, karena akal senantiasa mendapatkan pencerahan dari hati. Itulah hasil perpaduan antara dzikir dan fikir. Karena demikian pentingnya pelaksanaan dzikir ini, maka Allah Ta’ala telah membuat persaksian dengan firman-Nya:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. QS.Ali Imran/191.





Sumber: http://www.facebook.com/notes/muhammad-luthfi-ghozali/ilmu-laduni-buah-meditasi-islami/204950270358

ILMU LADUNI: adalah Buah Takwallah (part 2)




Siafat sombong itu akan menutup pintu iman dalam hati. Konkritnya, saat di depan mata terpampang jalan kebaikan, mereka selalu menghindarinya dan sebaliknya ketika ada jalan kejelekan, mereka malah segera menjalaninya. Jadi, sombong itulah yang menjadi penyebab utama keingkaran dan kelalaian hatinya, hingga akhirnya orang yang sombong itu tidak dapat memetik buah dari amal yang dikerjakan, yakni berupa “ilmu laduni” yang diharapkan dapat menerangi hati. Lebih jelas ditegaskan di dalam ayat yang lain Allah berfirman:

وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآَخِرَةِ حِجَابًا مَسْتُورًا (45) وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي آَذَانِهِمْ وَقْرًا وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْآَنِ وَحْدَهُ وَلَّوْا عَلَى أَدْبَارِهِمْ نُفُورًا

"Dan apabila kamu membaca Al-Qur'an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan hari akherat suatu dinding yang tertutup * Dan Kami adakan tutupan diatas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya, Dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja di dalam Al-Qur'an niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya”. (QS. al-Isra’(17); 45-46)

Keingkaran manusia akan hari akhirat, menjadi penyebab terhalangnya orang tersebut untuk menerima rahasia ilmu laduni dan menjadikannya benci kepada kebaikan serta cenderung kepada perbuatan maksiat. Ketika hati manusia ingkar kepada apa yang dijanjikan Allah di hari akhirat, maka berarti orientasi hidupnya hanya cenderung mengikuti konsep duniawi saja. Konsep matematika di mana satu ditambah satu hasilnya tidak mungkin menjadi sepuluh. Padahal urusan ilmu laduni tidaklah demikian, boleh jadi satu diambil satu malah menjadi sepuluh, karena yang satu itu adalah sebuah pengorbanan yang harus dijalankan. Oleh karena ilmu laduni adalah pahala yang dijanjikan, maka untuk mendapatkan pahala itu, jalannya haruslah dengan sebuah pengorbanan. Yaitu pengabdian yang hakiki semata-mata melaksanakan kewajiban seorang hamba untuk mengabdi kepada Tuhannya.

Demikian itulah gambaran ilmu laduni, maka setiap orang boleh berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Tentunya dengan melaksanakan pengabdian yang hakiki kepada Tuhannya. Namun demikian, meski dengan usaha yang bersungguh-sungguh, tidak seorangpun bisa mendapat jaminan untuk mendapatkan ilmu tersebut. Sebab, di jalanan yang akan dilalui itu banyak jebakan dan ranjau yang mengitari. Seperti nabi Musa as, meski sudah melaksanakan perjalanan berat dan panjang dan bahkan sudah bertemu dengan orang yang akan mewariskan ilmu laduni tersebut kepadanya, yaitu nabi Khidhir as, hanya karena sedikit kesalahan saja maka nabi Musa as tidak berhasil mendapatkan ilmu yang diharapkan itu.

Nabi Musa as dan Nabi Khidhir as yang dikisahkan di dalam kisah perjalanan itu, boleh jadi sebagai personal dan boleh jadi juga sebagai karakter. Yaitu karakter Musa dan karakter Khidir. Kalau mereka berdua hanya sebagai personal, barangkali kisah itu sudah tidak ada manfaatnya lagi bagi orang-orang yang membacanya, kecuali hanya sekedar membaca sejarah kehidupan para Nabi terdahulu.

Oleh karena itu, di samping kisah perjalanan tersebut disimak sebagai gambaran personal, hendaknya juga seorang salik yang berharap sumber ilmu laduni menyimaknya juga sebagai perjalanan dua karakter. Artinya karakter Musa dan karakter Khidhir yang harus mampu dihidupkan di dalam jiwanya sendiri, dengan demikian itu akhirnya menjadikan dirinya mampu menghadapi setiap tantangan yang sedang menghadang di depan mata.

Karakter-karakter itu, manakala telah mampu diterapkan oleh seorang salik di dalam perilaku keseharian, maka secara otomatis di akhir perjalanannya, karakter-karakter itu akan menjiwai pelakunya. Demikian itulah buah amal (latihan), maka siapapun dapat melakukannya, asal ada kemauan dan jalannya benar serta terbimbing oleh ahlinya. Namun demikian, oleh karena ilmu laduni adalah ilmu warisan, maka hasil akhirnya bergantung kepada orang yang memberi, bukan orang yang meminta. Di situ ada rahasia besar yang harus terkuakkan. Oleh karena itu, di samping cara usaha yang benar, kebersihan hati dalam berusaha adalah syarat utama untuk bisa mendapatkannya.

Di dalam kitab at-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an, Imam Ali ash-Shobuni ra mengutip pendapat beberapa Ulama’ tentang ilmu laduni ini, berkaitan dengan ihwal kebersihan hati, yang menjadi syarat mutlak untuk mendapatkan ilmu laduni. Melalui syairnya yang terkenal, al-Imam asy-Syafi'i ra mengisyaratkan hal itu dengan indahnya:

“Aku mengadu kepada Al-Waqi’
perihal jeleknya hapalanku, maka dia menunjuki aku agar aku meninggalkan perbuatan maksiat.
Karena sesungguhnya ilmu itu adalah Nur. Nur Allah tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat”.

Al-Imam as-Suyuti ra berkata: “Banyak orang mengira, bahwa ilmu laduni itu sangat sulit untuk didapat. Mereka berkata; ilmu laduni itu berada di luar jangkauan kemampuan manusia. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Untuk mendapatkan ilmu laduni itu, caranya hanya dengan jalan membangun sebab-sebab yang dapat menghasilkan akibat. Adapun sebab-sebab itu adalah amal dan zuhud.” Kemudian beliau meneruskan: “Ilmu-ilmu Al-Qur'an dan apa saja yang memancar darinya adalah sangat luas sekali. Bagaikan samudera yang tidak bertepi. Adapun ilmu laduni ini adalah alat yang mutlak bagi seseorang untuk menafsirkan ayat-ayatnya”.

Oleh karena itu, orang dilarang menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an kecuali bagi mereka yang terlebih dahulu telah mendapatkan ilmu laduni ini. Barangsiapa menafsirkan al-Qur'an tanpa alat ilmu laduni ini, boleh jadi mereka hanya akan menafsirkanya dengan akal saja (bir ro'yi) yang dilarang oleh agama. Sebab, pemahaman ilmu al-Qur'an yang hakiki adalah sesuatu yang sifatnya Qodim dan sumber ilmu laduni juga dari yang Qodim itu. Oleh karena itu, orang tidak akan dapat menyentuh sesuatu yang Qodim kecuali dengan alat dari yang Qodim pula.

Para Ulama' menyebut ini sebagai syarat mutlak yang harus dipenuhi bagi orang yang akan menafsirkan al-Qur'an, supaya dia berhasil sampai pada tingkat penafsiran terdalam dan tertinggi sesuai dengan kemampuannya dalam memahami, baik di saat mereka sedang mendengarkan maupun membaca ayat-ayatnya. Sungguh Allah telah memudahkannya dan telah memerintahkan pula untuk mengadakan penelitian, sebagaimana firman-Nya:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآَنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran “. (QS. al-Qomar (54); 17).

Dan juga firman Allah:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al- Qur'an, atau diatas hati-hati ada kuncinya". (QS. Muhammad (47); 24)

(Ali ash-Shobuni; At-Tibyan fi ‘Ulumil Qur'an, 159)



Sumber: http://www.facebook.com/notes/muhammad-luthfi-ghozali/ilmu-laduni-adalah-buah-takwallah-part-2/204271635358

ILMU LADUNI adalah Buah Takwallah (part 1)



Allah berfirman:

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
"Dan bertakwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarimu. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS.al-Baqoroh (2); 282)

Kehati-hatian (ihtiyat) seorang hamba dalam berbuat dan menentukan sikap serta pilihan jalan hidup, dihadapkan kepada Dzat yang ditakuti—yang setiap saat dapat melihat dan mengetahui—serta mengharapkan untuk mendapatkan petunjuk dan hidayah dari-Nya, akan membuka sumber inspirasi dan ilham yang tiada henti, namun manakala rasa takut itu hanya disandarkan kepada yang memberi kehidupan, hanya kepada Allah Sang Pemberi Nur kehidupan alam. Itu bisa terjadi, karena interaksi dua dzikir telah terkondisikan, sebagai sunnah dan pelaksanaan janji yang tidak teringkari. "Maka ingatlah kamu kepadaKu, niscaya Aku ingat pula kepadamu ". (QS. 2; 152).

Semisal orang ingin berbuat maksiat, karena nafsunya mengajak dan kesempatan sedang terbuka di depan mata, namun hatinya takut kepada Allah. Takut mendapat siksa baik di dunia maupun di akhirat atau takut dijauhkan dari ridho-Nya sehingga kemanisan munajat jadi terhambat. Keadaan seperti itu akan menimbulkan proses di dalam dada, hawa panas dan hawa dingin bergejolak, itulah yang dinamakan JIHAD AKBAR, jihat melawan nafsu yang ada di lambungnya sendiri. Ketika perang besar itu sampai pada klimaknya, maka terjadi proses pembakaran hijab manusiawi. Jika orang beriman itu mampu mengalahkan kehendak nafsunya berarti sama saja berhasil membakar lapisan hijab yang ada di rongga dadanya sehingga matahatinya menjadi CEMERLAN dan TEMBUS PANDANG. Ketika potensi NEGATIF itu mampu di Non Aktifkan maka segera saja secara otomatis potensi POSITIF menjadi Aktif

Sistem BUKA TUTUP itu terjadi akibat adanya “interaksi nuriyah”, pertemuan dua nur yang dipancarkan dari dua arah yang berbeda, yang satu mencari dan satu-Nya memberi. Kejadian ini ibarat orang menjemur diri di terik sinar matahari pagi, maka kehangatan sinar mentari seketika meresap di dalam seluruh tubuh melalui urat nadi, demikian pula proses masuknya ilmu laduni. Ilmu Warisan itu akan didatangkan untuk melapangkan rongga dada dan menerangi matahati, didatangkan sebagai akibat yang baik, manakala seorang salik mampu membangun sebab-sebabnya dengan baik pula.

Terkadang awal datangnya ilmu laduni terbit dari hati yang bingung karena dirundung duka. Ketika jalan penyelesaian akhir yang harus dilewati, pintu dan jendelanya telah tertutup rapat. Antara kecewa dan putus asa karena tidak mungkin makhluk dapat menolong diri, hati seorang hamba kemudian bersandar kepada Tuhannya. Untuk mencari pertolongan, meleburkan segala asa dan cita, melahirkan segala rindu dan cinta, menyatukan antara harapan dan pasrah. Ketika cinta telah menyatu dengan cinta dan rindu bertemu dengan yang ditunggu, maka dengan izin-Nya pintu hati yang semula tertutup menjadi terbuka.

Sumber “Ilmu laduni” adalah proses terbukanya pintu dan jendela itu, ketika yang asalnya takut, kecewa, dan putus asa, kemudian menjelma menjadi gembira. Manakala peristiwa itu dirunut ke belakang oleh para pemerhati untuk dijadikan bahan kajian guna memperdalam pemahaman hati dengan menguntai mutiara-mutiara hikmah yang berserakan, memadukan ayat yang tersurat dengan yang tersirat dalam pelaksanaan ubudiyah yang istiqomah, maka di situlah letak sumber “ilmu laduni” itu akan menampakkan diri. Sumber ilmu laduni yang berupa sarana penggodokan jiwa dan “kawah candradimuka” untuk memunculkan konsep-konsep kehidupan dan resep keteladanan hidup yang sesungguhnya sudah tersedia di dalam dada, proses tersebut dibutuhkan hanya untuk menekan tombolnya. Sebab, tanpa tantangan dan kesulitan, maka dalil dan argumentasi masih penuh dengan keraguan sehingga ilmu pengetahuan yang dimiliki hanya melayang di angan-angan,.

Meski cara mendapatkan sumber “ilmu laduni” itu merupakan sunnah (sistem) yang dimudahkan. Namun, seorang hamba tidak akan mampu mendapatkannya manakala di dalam hatinya masih terdapat sifat-sifat basyariyah yang merugikan, seperti sifat bid'ah, sombong, riya’, cinta dunia, dan selalu condong berbuat kemaksiatan. Seperti langit ketika diselimuti awan dan mendung, meski matahari sudah tinggi, kehangatannya tetap saja tertahankan. Seperti itulah gambaran proses datangnya ilmu laduni, maka Allah menegaskan dengan firman-Nya:

سَأَصْرِفُ عَنْ آَيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آَيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا وَكَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ

"Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi dengan tanpa alasan yang benar dari (memahami) ayat-ayat-Ku. Jika mereka melihat tiap-tiap ayat-Ku mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya. tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan mereka terus menempuhnya, yang demikian itu dikarenakan mereka telah mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya”. QS. al-A’raaf (7); 146.

Sombong artinya; orang merasa punya harga dan orang lain juga punya harga, tapi orang yang sombong itu merasa harga dirinya lebih tinggi daripada harga diri orang lain. Jika hal tersebut diaktualisasikan baik dalam ucapan ataupun perbuatan, maka namanya bukan sombong lagi tapi takabbur.

Allah menutup sumber ilmu laduni kepada hati yang sombong, sehingga sedikitpun tidak dapat merasakan pancaran sinarnya. Karena kesombongan itulah yang telah mencemari karakter manusiawi dan akan menghalangi dirinya sendiri untuk dapat memahami kandungan ayat-ayat Allah, baik terhadap ayat yang tersurat maupun yang tersirat. Jika terhadap orang sombong saja Ilmu Laduni itu tidak mau menghampiri hatinya terlebih lagi kepada orang yang suka pamer kesombonan didepan temannya sendiri. (bersambung)





Sumber: http://www.facebook.com/notes/muhammad-luthfi-ghozali/ilmu-laduni-adalah-buah-takwallah-part-1/203431140358

Ilmu Laduni adalah Ilmu Warisan (part 3)




4). Menunjukkan kemuliaan pemiliknya.

Lafad الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَ "Alladziinash thofainaa min ‘ibaadinan", (hamba-hamba Kami yang Kami pilih) menunjukkan bahwa hamba tersebut adalah manusia yang dimuliakan Allah Ta’ala dari tiga aspek :

a) Hamba pilihan. Terpilih dari golongan yang mulia maka berarti yang lebih mulia diantara yang dimuliakan.
b) Karena yang memilih adalah Allah Ta’ala yang Maha Mulia, maka pilihan itu pasti merupakan pilihan yang paling mulia.
c) Lafad hamba disandarkan kepada Kami, Allah. Itu menunjukkan bahwa hamba yang dipilih itu adalah hamba yang dimuliakan. Sebab, semua yang disandarkan kepada Allah berarti yang dimuliakan Allah. Seperti contoh lafad Rasulullah dan lafad Baitullah.

Oleh karena Allah adalah Dzat Yang Maha Mulia, maka siapapun yang dekat dengan-Nya berarti akan menjadi mulia. Bahkan seorang tukang pijat bisa mendapat kedudukan lebih mulia dibandingkan kedudukan seorang Menteri, karena ia tukang pijatnya Presiden. Namun tentunya pandangan kemuliaan itu hanya khusus di mata orang-orang yang mempunyai kepentingan besar kepada Presiden.

Oleh karena itu, kalau ada orang yang tidak memandang mulia kepada para Wali Allah, kepada orang-orang yang dicintai dan didekatkan di sisi Allah, sehingga mereka itu tidak mau mengadakan tabarrukan dengan bertawasul kepada orang yang mulia itu, barangkali karena memang orang tersebut tidak mempunyai kepentingan kepada Allah. Allah SWT. menegaskan hal yang demikian itu dengan firman-Nya di dalam hadits qudsi :

مَنْ عَادَ لِى وَلِيًّا فَقَدْ أَذِنْتُهُ بِالْحَرْبِ .
"Siapa yang mengingkari (menyakiti) wali-wali-Ku maka sungguh akan Aku kumandangkan perang dengannya".

Walhasil, yang menunjukkan hamba tersebut dipilih dan dimuliakan adalah karena pengabdiannya sebagai “hamba Allah” telah mendapatkan pengakuan dari-Nya sehingga mereka disebut sebagai “Hamba Kami” oleh Allah Ta’ala.

5). Buah Ibadah yang mampu Membangkitkan semangat Pengabdian.

Lafad فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ(Faminhum dhoolimun linafsih), yang dimaksud dengan “dholim linafsihi” didalam ayat ini, bukanlah orang yang menganiaya dirinya sendiri dengan perbuatan maksiat sebagaimana yang dimaksud dengan ayat: رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا "Robbanaa Dholamnaa Anfusanaa ( Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami ) QS. 7/23, atau perbuatan syirik sebagaimana yang dimaksud dengan ayat: إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ "Innasy Syirka ladhulmun ‘adhiim" (Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar) QS. 31/13.

Akan tetapi, mereka itu adalah orang yang menganiaya atau menyiksa diri sendiri dengan perbuatan taat atau kebajikan untuk semata-mata mengabdi kepada Allah. Maksudnya, disaat orang lain sedang tidur ia sangup bangun malam untuk bermujahadah di jalan Allah, disaat orang lain kenyang dia sanggup lapar berpuasa, disaat orang lain bersenang-senang dengan dunia, ia susah-susah menyendiri mencari akhirat. Alasan atau dalil yang menunjukkan hal itu ialah karena ayat ini ditutup dengan : ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ "Dzaalika Huwal Fadhlul kabiir" (Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar). Kalau dikatakan fadhol (karunia) apalagi karunia yang amat besar, maka jelas itu adalah bukan dari jenis perbuatan yang mengandung kemaksiatan dan dosa.

Maksudnya; Ketika ilmu yang diwariskan itu telah bersemayam didalam dada seorang hamba, ilmu itu akan menimbulkan reaksi kuat, sehingga terjadi proses pemahaman dalam hati secara bertahap yang mampu menimbulkan semangat kuat bagi pemiliknya untuk melaksanakan pengabdian hakiki kepada Allah SWT. dengan timbulnya kemampuan untuk menyiksa diri sendiri dalam melaksanakan mujahadah dan riyadhoh karena semata-mata mengharapkan ridho-Nya.

Kesimpulan :
Ilmu laduni adalah ilmu yang diwariskan dari pemilik sebelumnya, yakni uru Mursyid yang suci lagi mulia, bukan ilmu yang didapatkan dari hasil membaca atau mendengar. Ilmu tersebut merupakan bagian dari pemahaman yang terkandung didalam Al-Qur'-an al-Karim, bukan pengalaman spiritual/ghaib yang sumbernya tidak jelas. Ilmu laduni itu hanya diwariskan kepada orang yang dipilih dari orang-orang yang telah benar pengabdiannya kepada Allah Ta’ala, sehingga kebenarannya mendapatkan pengakuan dari-Nya. Barangsiapa telah mendapatkan warisan ilmu laduni, berarti mereka akan mendapat kemuliaan di sisi-Nya.


Sumber : http://www.facebook.com/notes/muhammad-luthfi-ghozali/ilmu-laduni-adalah-ilmu-warisan-part-3/202530135358

Ilmu Laduni adalah Ilmu Warisan (part 2)






Dengan pemahaman hati tersebut, seorang hamba dapat memahami secara langsung makna yang dikandung didalam ayat-ayat Al-Qur’an yang sedang dibaca maupun didengar. Berupa pemahaman yang amat luas dan universal sehingga kadang-kadang tidak mampu diuraikan baik melalui ucapan maupun tulisan. Pemahaman akan ma’na ayat yang didalamnya sedikitpun tidak dicampuri keraguan sehingga dapat menjadikan iman dan takwa seorang hamba kepada Allah Ta’ala menjadi semakin kuat.

Dalam menafsiri firman Allah SWT.:

إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ (77) فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

“Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara.Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” . QS. al-Waqi’ah.56/77-79.

Ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan Al-Muthohharuun (Orang-orang yang disucikan).
a). Dari Ibnu Abbas ra. yang dimaksud al-Kitab adalah kitab yang ada di langit, tidak ada yang menyentuhnya kecuali para malaikat yang disucikan. Seperti itu pula pendapat Anas, Mujahid, Ikrimah Said bin Jabir. Rodhiallahu ‘Anhum.
b). Yang dimaksud Al-Qur’an disini adalah mushhab, maka tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci dari junub dan hadats. Dengan dalil apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda :

وَلاَ يَمُسُّ الْقُرْآَنَ إِلاَّ طَاهِرٌ
“Dan tidak menyentuh Al-Qur'an kecuali orang yang suci”.
*Tafsir Ibnu Katsir ayat 79 surat al-Waqi’ah*

c). Tidak dapat menyentuh terhadap pemahaman-pemahaman Al-Qur’an yang qodim (rahasia ilmu laduni) kecuali orang-orang yang hatinya bersih dan suci dari kotoran-kotoran manusiawi. Allah SWT. mengisyaratkan hal tersebut dengan firmannya :

وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآَخِرَةِ حِجَابًا مَسْتُورًا (45) وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي آَذَانِهِمْ وَقْرًا وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْآَنِ وَحْدَهُ وَلَّوْا عَلَى أَدْبَارِهِمْ نُفُورًا

“Dan apabila kamu membaca Al-Qur’an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, yaitu dinding yang tertutup * Dan Kami adakan tutupan diatas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya”. QS.al-Isra’.17/45-46.

Dari ayat diatas jelas menunjukkan bahwa orang yang mambaca atau mendengarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an belum tentu memahami isinya, karena yang dibaca tersebut adalah Al-Qur’an hadits. Terhadap al-Qur’an yang hadits ini siapa saja dapat menyentuhnya. Adapun yang dipahami adalah Al-Qur’an yang qodim atau rahasia-rahasia dari ilmu laduni, terhadap al-Qur’an yang qodim ini tidak semua orang dapat menyentuhnya kecuali orang yang beriman dengan kehidupan akhirat. Sebab, yang dimaksud dengan membaca atau mempelajari adalah amalan lahir, sedangkan memahami adalah amalan bathin. Yang dibaca adalah yang lahir sedangkan yang dipahami adalah yang bathin. Maka tidak dapat menyentuh yang bathin kecuali dengan alat yang bathin pula, yaitu matahati yang cemerlang.

2). Bukti kebenaran Al-Qur’an.
Salah satu tanda-tanda kebenaran Al-Qur'an ialah bahwa isinya membenarkan isi kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Yang demikian itu menunjukkan bahwa kitab-kitab samawi tersebut adalah sama-sama wahyu dari Allah Ta’ala.

3). Ilmu yang diwariskan.
Lafad “Kami wariskan”, artinya pemahaman hati tersebut diturunkan kepada orang yang menerima dengan tanpa usaha. Diturunkan semata-mata dari kehendak Allah Ta’ala, meski itu merupakan buah ibadah yang dijalani oleh seorang hamba. Oleh karena ilmu tersebut diturunkan sebagai warisan, maka tentunya yang menerima warisan itu harus mengetahui dengan pasti siapa yang mewariskan ilmu tersebut kapada dirinya. Dengan asumsi seperti itu, maka pemahaman ini hanya dapat dihasilkan dari rahasia pelaksanaan tawasul secara ruhaniyah kepada orang yang ditawasuli. Maksudnya, rahasia sumber ilmu laduni itu hanya dapat terbuka dari sebab pelaksanaan tawasul kepada orang-orang yang telah terlebih dahulu mendapatkan warisan ilmu laduni dari para pendahulunya. Jadi, ilmu laduni itu adalah ilmu yang ada keterkaitan dengan ilmu para guru mursyid sebelumnya, guru-guru Mursyid tersebut sebagai pewaris sah secara berkesinambungan sampai kepada Maha Guru yang agung yaitu Baginda Nabi Muhammad Rasulullah saw.

Ayat diatas menjadi bukti bahwa ilmu laduni yang dimaksud bukanlah sesuatu yang didapatkan dari hasil bertapa didalam gua-gua di tengah hutan atau di kuburan angker—yang kemudian orang itu mendapatkan “linuwih” atau kelebihan-kelebihan dan kesaktian—yang datangnya tidak dikenali dari mana sumber pangkalnya. Ilmu laduni adalah ilmu yang diturunkan Allah Ta’ala didalam hati seorang hamba yang dipilihNya melalui proses tarbiyah azaliah, sebagai buah ibadah yang dijalani.

Kalau ada kelebihan atau kesaktian yang didapatkan orang dari hasil berburu dengan mujahadah dan bertapa di hutan-hutan, meski orang tersebut kemudian dapat berjalan cepat seperti mukjizatnya Nabi Sulaiman as. misalnya, kelebihan seperti itu bisa jadi merupakan kelebihan yang datangnya dari fasilitas makhluk Jin. Kelebihan seperti itu terkadang hanya sebagai istidroj (kemanjaan sementara) belaka, yang kemudian sedikit demi sedikit akan dicabut lagi bersama kehancuran pemilikinya. Terlebih lagi apabila kelebihan-kelebihan itu dibarengi dengan sifat sombong dan takabbur, sehingga cenderung hanya dijadikan alat untuk unjuk kesaktian yang dipamerkan kepada orang banyak, jika demikian keadaannya, maka itu dapat dipastikan bahwa kesaktian tersebut hanyalah istidroj belaka. (bersambung)


Sumber: http://www.facebook.com/notes/muhammad-luthfi-ghozali/ilmu-laduni-adalah-ilmu-warisan-part-2/201594015358

Ilmu Laduni adalah Ilmu Warisan (part 1)




Ilmu laduni adalah ilmu warisan. Seseorang tidak mungkin mendapatkan ilmu laduni kecuali dengan sebab mendapat warisan dari orang lain, padahal yang dimaksud warisan adalah tinggalan orang mati. Oleh karenanya, satu-satunya jalan untuk mendapatkan Ilmu Laduni adalah melaksanakan tawasul secara ruhaniyah kepada para Guru Mursyid baik yang hidup maupun yang mati. Hal tersebut dilakukan oleh seorang salik untuk membangun sebab-sebab yang dapat menyampaikan kepada akibat yang baik, yakni mendapatkan ilmu laduni.

Tentang ilmu warisan ini telah dinyatakan Allah SWT dengan firman-Nya:

وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ هُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ إِنَّ اللَّهَ بِعِبَادِهِ لَخَبِيرٌ بَصِيرٌ (31) ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ

"Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al-Kitab (Al-Qur'an) itulah yang benar, dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya * Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menyiksa diri sendiri dan diantara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang berlomba-lomba berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar ". QS.Fathir.35/31-32.

Ilmu warisan ini termaktub di dalam firman-Nya: “Tsumma aurotsnal kitaaba”. Yang artinya ; Kemudian Kami wariskan kitab itu. Ayat ini jelas menunjukkan bahwa ada suatu jenis ilmu yang tidak diturunkan kepada seseorang kecuali dengan mendapatkan warisan dari orang yang telah terlebih dahulu mendapatkannya. Untuk lebih memudahkan pemahaman—insya Allah—marilah kita ikuti penafsiran dua ayat tersebut secara keseluruhan:

Dari ayat diatas akan kita uraikan menjadi beberapa pembahasan :

1). Tentang ilmu Al-Qur’an.
Yang dimaksud dengan al-Kitab (Al-Qur'an) {“wal ladzii auhainaa ilaika minal kitaab” (dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu al-Kitab)} di dalam ayat di atas adalah ilmu pengetahuan yang dikandung di dalam Al-Qur’an al-Karim.

Al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad ra. dalam bukunya, “Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”, berkata:

أنَّ الْقُرْآَنَ الْعَظِيْمَ كَلاَمُ اللهِ الْقَدِيْمِ وَكِتَابُهُ الْمُنَزَّلُ عَلى نَبِيِّهِ وَرَسُوْلِهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِى الْكَلاَمَ النَّفْسِىَّ الْقَدِيْمَ وَالنَّظْمَ الْمَقْرُوْءَ الْمَسْمُوْعَ الْمَحْفُوْظَ الْمَكْتُوْبَ بَيْنَ دَفْتَرِ الْمُصْحَفِ

“Sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah Kalam Allah yang qodim dan Kitab-Nya yang diturunkan kepada Nabi-Nya dan Rasul-Nya saw. yaitu ucapan didalam hati yang qodim dan susunan kata-kata yang dapat dibaca, dapat didengar dan terjaga didalam kitab antara catatan-catatan didalam buku”.

Dengan dikaitkan pendapat al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad ra. tersebut, maka Al-Qur’an al-Karim dibagi menjadi dua bagian:

1). Al-Qur’an sebagai Kalamullah yang qodim, sebagaimana firman Allah SWT:

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami”.

2). Al-Qur’an sebagai Kitab yang hadits, yaitu tulisan dengan bahasa Arab yang tertulis di dalam mushab, sebagaimana firman Allah SWT :

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (19) ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ

“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar ucapan utusan yang mulia (Jibril) yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah Yang mempunyai Arsy”.QS. at-Takwir/19-20

Maka yang dimaksud dengan al-Kitab— dalam ayat di atas—yang akan diwariskan kepada hamba-hamba dipilih, bukanlah Al-Qur’an yang hadits, melainkan Al-Qur’an yang qodim. Yakni berupa pemahaman hati dari ma’na yang dikandung Al-Qur’an yang hadits. Oleh karenanya, tidak mungkin seseorang dapat memahami al-Qur’an yang Qodim tanpa terlebih dahulu memahami makna al-Qur’an yang hadis.

Jadi, yang dimaksud ilmu warisan adalah pemahaman hati yang bentuknya tidak berupa tulisan yang dapat dilihat mata maupun suara yang dapat didengar telinga, melainkan rasa di dalam hati sebagai buah mujahadah atas dasar takwallah. Pemahaman hati tersebut bisa disebut sebagai ilmu laduni, manakala sumbernya terbit dari ilham secara langsung didalam hati yang datangnya dari urusan ketuhanan, bukan inspirasi hayali yang terkadang bisa jadi terbit dari bisikan Jin. (bersambung)