Rabu, 11 November 2009

Ilmu Laduni adalah Ilmu Warisan (part 3)




4). Menunjukkan kemuliaan pemiliknya.

Lafad الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَ "Alladziinash thofainaa min ‘ibaadinan", (hamba-hamba Kami yang Kami pilih) menunjukkan bahwa hamba tersebut adalah manusia yang dimuliakan Allah Ta’ala dari tiga aspek :

a) Hamba pilihan. Terpilih dari golongan yang mulia maka berarti yang lebih mulia diantara yang dimuliakan.
b) Karena yang memilih adalah Allah Ta’ala yang Maha Mulia, maka pilihan itu pasti merupakan pilihan yang paling mulia.
c) Lafad hamba disandarkan kepada Kami, Allah. Itu menunjukkan bahwa hamba yang dipilih itu adalah hamba yang dimuliakan. Sebab, semua yang disandarkan kepada Allah berarti yang dimuliakan Allah. Seperti contoh lafad Rasulullah dan lafad Baitullah.

Oleh karena Allah adalah Dzat Yang Maha Mulia, maka siapapun yang dekat dengan-Nya berarti akan menjadi mulia. Bahkan seorang tukang pijat bisa mendapat kedudukan lebih mulia dibandingkan kedudukan seorang Menteri, karena ia tukang pijatnya Presiden. Namun tentunya pandangan kemuliaan itu hanya khusus di mata orang-orang yang mempunyai kepentingan besar kepada Presiden.

Oleh karena itu, kalau ada orang yang tidak memandang mulia kepada para Wali Allah, kepada orang-orang yang dicintai dan didekatkan di sisi Allah, sehingga mereka itu tidak mau mengadakan tabarrukan dengan bertawasul kepada orang yang mulia itu, barangkali karena memang orang tersebut tidak mempunyai kepentingan kepada Allah. Allah SWT. menegaskan hal yang demikian itu dengan firman-Nya di dalam hadits qudsi :

مَنْ عَادَ لِى وَلِيًّا فَقَدْ أَذِنْتُهُ بِالْحَرْبِ .
"Siapa yang mengingkari (menyakiti) wali-wali-Ku maka sungguh akan Aku kumandangkan perang dengannya".

Walhasil, yang menunjukkan hamba tersebut dipilih dan dimuliakan adalah karena pengabdiannya sebagai “hamba Allah” telah mendapatkan pengakuan dari-Nya sehingga mereka disebut sebagai “Hamba Kami” oleh Allah Ta’ala.

5). Buah Ibadah yang mampu Membangkitkan semangat Pengabdian.

Lafad فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ(Faminhum dhoolimun linafsih), yang dimaksud dengan “dholim linafsihi” didalam ayat ini, bukanlah orang yang menganiaya dirinya sendiri dengan perbuatan maksiat sebagaimana yang dimaksud dengan ayat: رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا "Robbanaa Dholamnaa Anfusanaa ( Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami ) QS. 7/23, atau perbuatan syirik sebagaimana yang dimaksud dengan ayat: إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ "Innasy Syirka ladhulmun ‘adhiim" (Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar) QS. 31/13.

Akan tetapi, mereka itu adalah orang yang menganiaya atau menyiksa diri sendiri dengan perbuatan taat atau kebajikan untuk semata-mata mengabdi kepada Allah. Maksudnya, disaat orang lain sedang tidur ia sangup bangun malam untuk bermujahadah di jalan Allah, disaat orang lain kenyang dia sanggup lapar berpuasa, disaat orang lain bersenang-senang dengan dunia, ia susah-susah menyendiri mencari akhirat. Alasan atau dalil yang menunjukkan hal itu ialah karena ayat ini ditutup dengan : ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ "Dzaalika Huwal Fadhlul kabiir" (Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar). Kalau dikatakan fadhol (karunia) apalagi karunia yang amat besar, maka jelas itu adalah bukan dari jenis perbuatan yang mengandung kemaksiatan dan dosa.

Maksudnya; Ketika ilmu yang diwariskan itu telah bersemayam didalam dada seorang hamba, ilmu itu akan menimbulkan reaksi kuat, sehingga terjadi proses pemahaman dalam hati secara bertahap yang mampu menimbulkan semangat kuat bagi pemiliknya untuk melaksanakan pengabdian hakiki kepada Allah SWT. dengan timbulnya kemampuan untuk menyiksa diri sendiri dalam melaksanakan mujahadah dan riyadhoh karena semata-mata mengharapkan ridho-Nya.

Kesimpulan :
Ilmu laduni adalah ilmu yang diwariskan dari pemilik sebelumnya, yakni uru Mursyid yang suci lagi mulia, bukan ilmu yang didapatkan dari hasil membaca atau mendengar. Ilmu tersebut merupakan bagian dari pemahaman yang terkandung didalam Al-Qur'-an al-Karim, bukan pengalaman spiritual/ghaib yang sumbernya tidak jelas. Ilmu laduni itu hanya diwariskan kepada orang yang dipilih dari orang-orang yang telah benar pengabdiannya kepada Allah Ta’ala, sehingga kebenarannya mendapatkan pengakuan dari-Nya. Barangsiapa telah mendapatkan warisan ilmu laduni, berarti mereka akan mendapat kemuliaan di sisi-Nya.


Sumber : http://www.facebook.com/notes/muhammad-luthfi-ghozali/ilmu-laduni-adalah-ilmu-warisan-part-3/202530135358

Tidak ada komentar:

Posting Komentar