Rabu, 11 November 2009

ILMU LADUNI: adalah Buah Takwallah (part 2)




Siafat sombong itu akan menutup pintu iman dalam hati. Konkritnya, saat di depan mata terpampang jalan kebaikan, mereka selalu menghindarinya dan sebaliknya ketika ada jalan kejelekan, mereka malah segera menjalaninya. Jadi, sombong itulah yang menjadi penyebab utama keingkaran dan kelalaian hatinya, hingga akhirnya orang yang sombong itu tidak dapat memetik buah dari amal yang dikerjakan, yakni berupa “ilmu laduni” yang diharapkan dapat menerangi hati. Lebih jelas ditegaskan di dalam ayat yang lain Allah berfirman:

وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآَخِرَةِ حِجَابًا مَسْتُورًا (45) وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي آَذَانِهِمْ وَقْرًا وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْآَنِ وَحْدَهُ وَلَّوْا عَلَى أَدْبَارِهِمْ نُفُورًا

"Dan apabila kamu membaca Al-Qur'an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan hari akherat suatu dinding yang tertutup * Dan Kami adakan tutupan diatas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya, Dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja di dalam Al-Qur'an niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya”. (QS. al-Isra’(17); 45-46)

Keingkaran manusia akan hari akhirat, menjadi penyebab terhalangnya orang tersebut untuk menerima rahasia ilmu laduni dan menjadikannya benci kepada kebaikan serta cenderung kepada perbuatan maksiat. Ketika hati manusia ingkar kepada apa yang dijanjikan Allah di hari akhirat, maka berarti orientasi hidupnya hanya cenderung mengikuti konsep duniawi saja. Konsep matematika di mana satu ditambah satu hasilnya tidak mungkin menjadi sepuluh. Padahal urusan ilmu laduni tidaklah demikian, boleh jadi satu diambil satu malah menjadi sepuluh, karena yang satu itu adalah sebuah pengorbanan yang harus dijalankan. Oleh karena ilmu laduni adalah pahala yang dijanjikan, maka untuk mendapatkan pahala itu, jalannya haruslah dengan sebuah pengorbanan. Yaitu pengabdian yang hakiki semata-mata melaksanakan kewajiban seorang hamba untuk mengabdi kepada Tuhannya.

Demikian itulah gambaran ilmu laduni, maka setiap orang boleh berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Tentunya dengan melaksanakan pengabdian yang hakiki kepada Tuhannya. Namun demikian, meski dengan usaha yang bersungguh-sungguh, tidak seorangpun bisa mendapat jaminan untuk mendapatkan ilmu tersebut. Sebab, di jalanan yang akan dilalui itu banyak jebakan dan ranjau yang mengitari. Seperti nabi Musa as, meski sudah melaksanakan perjalanan berat dan panjang dan bahkan sudah bertemu dengan orang yang akan mewariskan ilmu laduni tersebut kepadanya, yaitu nabi Khidhir as, hanya karena sedikit kesalahan saja maka nabi Musa as tidak berhasil mendapatkan ilmu yang diharapkan itu.

Nabi Musa as dan Nabi Khidhir as yang dikisahkan di dalam kisah perjalanan itu, boleh jadi sebagai personal dan boleh jadi juga sebagai karakter. Yaitu karakter Musa dan karakter Khidir. Kalau mereka berdua hanya sebagai personal, barangkali kisah itu sudah tidak ada manfaatnya lagi bagi orang-orang yang membacanya, kecuali hanya sekedar membaca sejarah kehidupan para Nabi terdahulu.

Oleh karena itu, di samping kisah perjalanan tersebut disimak sebagai gambaran personal, hendaknya juga seorang salik yang berharap sumber ilmu laduni menyimaknya juga sebagai perjalanan dua karakter. Artinya karakter Musa dan karakter Khidhir yang harus mampu dihidupkan di dalam jiwanya sendiri, dengan demikian itu akhirnya menjadikan dirinya mampu menghadapi setiap tantangan yang sedang menghadang di depan mata.

Karakter-karakter itu, manakala telah mampu diterapkan oleh seorang salik di dalam perilaku keseharian, maka secara otomatis di akhir perjalanannya, karakter-karakter itu akan menjiwai pelakunya. Demikian itulah buah amal (latihan), maka siapapun dapat melakukannya, asal ada kemauan dan jalannya benar serta terbimbing oleh ahlinya. Namun demikian, oleh karena ilmu laduni adalah ilmu warisan, maka hasil akhirnya bergantung kepada orang yang memberi, bukan orang yang meminta. Di situ ada rahasia besar yang harus terkuakkan. Oleh karena itu, di samping cara usaha yang benar, kebersihan hati dalam berusaha adalah syarat utama untuk bisa mendapatkannya.

Di dalam kitab at-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an, Imam Ali ash-Shobuni ra mengutip pendapat beberapa Ulama’ tentang ilmu laduni ini, berkaitan dengan ihwal kebersihan hati, yang menjadi syarat mutlak untuk mendapatkan ilmu laduni. Melalui syairnya yang terkenal, al-Imam asy-Syafi'i ra mengisyaratkan hal itu dengan indahnya:

“Aku mengadu kepada Al-Waqi’
perihal jeleknya hapalanku, maka dia menunjuki aku agar aku meninggalkan perbuatan maksiat.
Karena sesungguhnya ilmu itu adalah Nur. Nur Allah tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat”.

Al-Imam as-Suyuti ra berkata: “Banyak orang mengira, bahwa ilmu laduni itu sangat sulit untuk didapat. Mereka berkata; ilmu laduni itu berada di luar jangkauan kemampuan manusia. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Untuk mendapatkan ilmu laduni itu, caranya hanya dengan jalan membangun sebab-sebab yang dapat menghasilkan akibat. Adapun sebab-sebab itu adalah amal dan zuhud.” Kemudian beliau meneruskan: “Ilmu-ilmu Al-Qur'an dan apa saja yang memancar darinya adalah sangat luas sekali. Bagaikan samudera yang tidak bertepi. Adapun ilmu laduni ini adalah alat yang mutlak bagi seseorang untuk menafsirkan ayat-ayatnya”.

Oleh karena itu, orang dilarang menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an kecuali bagi mereka yang terlebih dahulu telah mendapatkan ilmu laduni ini. Barangsiapa menafsirkan al-Qur'an tanpa alat ilmu laduni ini, boleh jadi mereka hanya akan menafsirkanya dengan akal saja (bir ro'yi) yang dilarang oleh agama. Sebab, pemahaman ilmu al-Qur'an yang hakiki adalah sesuatu yang sifatnya Qodim dan sumber ilmu laduni juga dari yang Qodim itu. Oleh karena itu, orang tidak akan dapat menyentuh sesuatu yang Qodim kecuali dengan alat dari yang Qodim pula.

Para Ulama' menyebut ini sebagai syarat mutlak yang harus dipenuhi bagi orang yang akan menafsirkan al-Qur'an, supaya dia berhasil sampai pada tingkat penafsiran terdalam dan tertinggi sesuai dengan kemampuannya dalam memahami, baik di saat mereka sedang mendengarkan maupun membaca ayat-ayatnya. Sungguh Allah telah memudahkannya dan telah memerintahkan pula untuk mengadakan penelitian, sebagaimana firman-Nya:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآَنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran “. (QS. al-Qomar (54); 17).

Dan juga firman Allah:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al- Qur'an, atau diatas hati-hati ada kuncinya". (QS. Muhammad (47); 24)

(Ali ash-Shobuni; At-Tibyan fi ‘Ulumil Qur'an, 159)



Sumber: http://www.facebook.com/notes/muhammad-luthfi-ghozali/ilmu-laduni-adalah-buah-takwallah-part-2/204271635358

Tidak ada komentar:

Posting Komentar